Judul
Buku : Sejarah Dan Kebudayaan Kebumen
Penerbit : Jl. Gejayana Gg. Buntu II/ 5A
Yogyakarta
Halaman
: xii + 240
Nama
: Restu Ikhtian Prayogo
Nim
: 1301020017
Sejarah
Lokal
Pada
hakikatnya si penyalin hanya menceritakan bagian inti, hal yang dianggap
sebagai bumbu cerita disingkirkan, seperti Serat
Guno bagi Raden Tumenggung Arung Binang I agar mau mencintai suaminya
Pangeran Blitar. Peristiwa lain adalah adu jangkrik antara Raden Mas Tumenggung
Aria Arung Binang II dengan Mas Mangoedikromo terhadap selir Raden Mas Aria
Mangkoedirdjo yang bernama Bok Ambar.
Silsilah dalam Babad Aroeng Binang diambil dari Padjajaran yang mempunyai tiga
anak yang menonjol, Arya Bangah, Jaka Sesuruh, Dan Siyung Wanara. Jalur Jaka
Sesuruh menjadi raja Majapahit pertama yang memakai gelar Brawijaya antara
lain, (1) Adi istri Jaka Sengara yang menurunkan Jaka Tingkir, (2) Lembupeteng
Madura, (3) Gugur, (4) Arya Damar di Palembang, (5) Raden Patah raja Demak, (6)
Raden Jaranpanolih, (7) Sri Batara Katong, (8) Adipati Luwano, (9) Adipati
Growong, (10) Raden Bondan Kajawan. Panembahan senopati memiliki Sembilan anak
yaitu, (1) Raden Ronggo, (2) Pangeran Puger, (3) Pangeran Prboyo, (4) Pangeran
Joyorogo, (5) Pangeran Juminah, (6) Raden Mas Jolang (Panembahan Seda Krapyak),
(7) Pangeran Pringgoloyo, (8) Raden Ayu Tanpanangkil, (9) Raden Ayu Tepasana.
Panembahan Seda Krapyak memiliki putra (1) Raden Mas Rangsang (Sultan Agung),
(2) Ratu Pandansari (Istri Pangeran Pekik Surabaya, (3) Raden Mas Pamenang, (4)
Raden Mas Martapura, (5) Raden Mas Cakra, (6) Pangeran Bumidirja.
Pangeran Bumidirja beranak Kiai
Bekel, Kiai Bekel beranak Kiai Wuragil, Kiai Wuragil beranak Honggayuda.
Honggayuda beranak tujuh yaitu,(1) Nyai Wirarana, (2kiai Hanggadiwangsa), (3)
Nyai Nalawijaya, (4) Nyai Wirawangsa, (5) Kiai Sutayuda, (6) Nyai Surajaya, (7)
Jaka Sangkrib. Kisah Jaka Sangkrib dalam teks banyak kesamaan dengan babad Arung Binangun, di sisipkan berupa kisah
pelarian Amangkurat I didampingi Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Puger.
Dalam pemberontakan dari Gunung
Slamet yang bernama Raden Supena (Raden Damarwulan) dan Raden Suratma
(Menakkocar) menyebutkan tujuh pengikut Surajaya yakni, Surapawija, Ranapawira,
Mangunpawira, Wangsapawira, Hastraprawira, Jayapawira, dan Trunapawira.
Peristiwa Geger Pacina dipimpin oleh
keturunan Mataram, Putra Tepasana yang bernama Raden Mas Garendi atau Sunan
Kuning. Pemberontakan Cina berhasil menguasai ibukota Kertasura dan Susuhan
Pakubuwono II mengungsi ke Ponorogo (Remmelink 2002).
Babad Aroeng Binang disisipkan
dengan Perang Mangkubumi yang berakhir dengan Palihan Nagari 1755. Perisitiwa ini dianggap penting karena menjadi
latar belakang munculya nama Arung Binang. Menurut keterangan Babad Arung Binang karya Raden Ngabehi
Tirtodimedjo, arung berarti bambu ala, mambu najis, sedangkan binang berarti binuwang. Jadi arung binang
berarti membuang bau-bau jelek atau membuang klilip ratu. Menurut kamus Roorda, arung berarti barung atau
grubyug, sedangkan binang berarti
tombak binang, tombak kecil, atau tlempak.
Jadi arung binang berarti suara grubyug para
prajurit atau yang membawa senjata tombak kecil (tlempak), yaitu Hanggawangsa
dan tujuh orang pengikut yang berasal dari Kutawinangun.
Nama
Arung Binang dijelaskan bahwa tokoh yang berasal dari Kebumen sangat berperan
dalam Perang Mangkubumi yang berada di pihak Sunan. Arung Binang adalah seorang
yang terpercaya dan memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap raja. Berakhirnya
Perang Magkubumi dijelaskan adanya peran seorang nahkoda dari Turki, Syekh
Ibrahim yang dimanfaatkan oleh Jenderal Jacob Mossel untuk mendamaikan kedua
belah pihak yang bertikai atas nama Sultan Turki. Perdamaian melalui Perjanjian
Giyanti 1755 membagi dua kasultanan yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Kemudian
disusul dengan Perjanjian Salatiga 1757 dengan timbulnya Pura Mangkunegara yang
dipegang oleh Pangeran Adipati Aria Mangkunegara atau Pangeran Sambernyawa.
Sisipan
Perang Mangkubumi disusul dengan Deskripsi keturunan Arung Binang I, istri dari
Klegen yang bernama Mas Ajeng Kuning melahirkan (1) Raden Ayu Pangeran Blitar,
(2) Raden Honggodirdjo (Kliwon Kabopaten Sewu Surakarta), (3) Raden Ayu
Ngabdulsalam (Kutawinangun), (4) Raden Ayu Kromowirdjojo. Istri dari desa
Winong, Mas Ajeng Dewi melahirkan (5) Raden Ayu Wonojudo, (6) Raden
Wongsodirdjo (Raden Tumenggung Arung Binang II), (7) Mas Ajeng Wongsodiwirjo
(Prembun), (8) Mas Ajeng Soerodiwirjo (Solo), dan istri Mas Ajeng Ragil dari
desa Prajuritan melahirkan (9) Raden Wongsodikromo.
Pada
tahun 1826, Arung Binang III di Kutawinangun kedatangan pemberontak yang diutus
Pangeran Dipanegara (bandingan Leirissa 1984: 194, Simbolon 1995: 110, &
Carey 1985: 118-119). Raden Mas Aria Arung Binang III tunduk kepada Pangeran
Dipanegara, tetapi mengirim wakilnya yaitu adiknya bernama Raden Mas Aria Mangkoedirjo.
Menurut Kiai Ngabduljahal, Arung Binang III pergi ke Surakarta dengan selir Bok
Ajeng Sami dari Sudagaran (Kutawinangun).
Setelah
pemberontakan menipis pasukan kompeni dibagi menjadi dua, yaitu (1) yang
tinggal di Kedung Kebo dipimpin Kolonel Klerks dan Pangeran Kusumayuda
didampingi Raden Adipati Cokronagoro, (2) yang tinggal di Merden dikepalai
Kolonel Margilis didampingi Arung Binang IV. Raden Tumenggung Arung Binang IV
sendiri ingin membangun pusat kabupaten di Mrinen tetapi ia menerima bisikan
gaib bahwa Mrinen tidak baik dijadikan ibukota dan tempat yang baik adalah
Pangeran Bumidirdja tinggal, yaitu Panjer, Kebumen.
Di
sebelah Panjer terdapat desa Selang, hidup seorang bernama Kramaparwo. Ia bekas
pengikut Pangeran Dipanegara untuk membujuk kawanya Pujo untuk memberontak
Arung Binang IV. Arung Binang IV mengungsi ke Kutawinangun dan minta bantuan
kepada kompeni di Purworejo. Arung Binang IV meminta pendapat Kiai Ngabduljalal
mengenai letak yang layak bagi ibukota baru, menurut Ngabduljalal letak yang
tepat disebelah utara Sungai Lukolo. Jadi pindahnya kearah barat laut dari
tempat semula. Pendiri saka guru ditandai dengan sengkalan pada blandar yang
berbunyi kaya obah swaraning wong atau
sama dengan tahun 1763 atau 1835 Masehi.
Pada
masa kolonial, ada empat kabupaten lain selain Kebumen yaitu, (1) Karanganyar,
bupati Raden Mas Aria Tirtaatmadja yang bergelar Raden Mas Tumenggung
Djajadinngrat, wilayahnya Bagelan Barat. (2) ambal bupati Raden Tumenggung
Poerbanagara, wilayah Pesisir selatan Bagelan, (3) Ledok (Wonosobo) bupati
Raden Tumenggung Mangonkoesoemo wilayah Bagelan Utara, (4) Semawung (Kutoarjo)
bupati Raden Tumenggung Sawoenggaling wilayah Bagelan Barat bagian timur.
Dikisahkan
Raden Mas Kolopaking karena cakap dan baik pekerjaannya maka ia disukai oleh
Asisten Residen dan tuan lainnya. Ia kadang kurang memperhatikan kondisi dengan
bupati maka Raden Tumenggung Arung Binang IV melaporkan hal itu kepada Asisten
Residen. Mas Kolopaking dimarahi Asisten Residen dan disuruh memilih sliro opo putro. Setelah Raden Mas
Kolopaking dimarahi dari Asisten Residen ia menghadap bupati untuk menyatakan,
(1) permintaan maaf, (2) berpamitan untuk pulang ke rahmatullah, dan (3)
memasrahkan nasib anak-anaknya.
Teks
Babad Arung Binang menunjukan
realitas sejarah daripada teks Babad
Kebumen dan babad Arungbinangan. Kedua
teks menyatakan bahwa kebesaran Jaka Sangkrip tanpa ada cela di akhir hidupnya,
bahkan kesan romantic menjelaskan bahwa Raden Tumenggung Arung Binang I pulang
kampong untuk menikmati kehidupan pada masa itu. Kesaksian teks Babad Kebumen
dan Babad Arungbinangan menutupi nasib Arung Binang I yang dibuang karena
kesalahan fatal sehingga dipecat dari jabatan dan dilanjutkan dengan
masapembuangan (Ricklefs (2002: 414) mengomentari bahwa suatu hal sangat
mengejutkan bahwa sunan memecat orang kuat seperti Arung Binang karena
Mangkunegara I mengira bahwa raja tidak memiliki keberanian untuk melakukan hal
itu.
4. Tokoh-Tokoh Arung Binang
Tokoh
Arung Binang sendiri kecuali Arung Binang V adalah keturunan Jaka Sangkrip
(Surawijaya atau Hanggawangsa atau Arung Binang I), berdasarkan silsilah Warta
Trah Arung Binang PATRAB (Peguyuban Trah Arung Binang) Jakarta menunjukan bahwa
kedelapan tokoh bukanlah keturunan secara lurus atau satu jalur. Ada empat
jalur yang terdiri dari tiga jalur keturunan Jaka Sangkrip dan satu jalur
keturunan Kiai Hanggayuda.
Wongsodirdjo atau Arung Binang II
adalah anak keempatRaden Tumenggung Arung Binang I. Arung Binang II digantikan
oleh RM Rio Soerjodirdjo yang bergelar Arung Binang III (1808-22 Agustus 1831).
Arung Binang III anak Raden Ngabehi Honggodirdjo (menantu Mangkunegara I, kawin
dengan BRA semi) dan cucu Arung Binang I. honggodirdjo adalah anak kedua Arung
Binang I yang menjadi kliwon Kabupaten Bumi Sewu di Surakarta.
Arung
Binang III diganti putranya RM Mangundiwirjo yang bergelar Arung Binang IV
menjadi penguasa Panjer Roma atau bupati Kebumen pertama (22 Agustus 1831- 30
Juni 1849). Arung Binang IV diganti Bagus Sanglir juga bergelar Arung Binang V
(30 Juni 1849- 19 Juli 1877). Tokoh ini memantu Arung Binang III atau ipar
Arung Binang IV karena kawin dengan Raden Ayu Sebrod. Arung Binang V bukan
keturunan Jaka Sangkrip melainkan keturunan Demang Hanggayuda. Silsilahnya
sebagai berikut (1) Nyai Hanggayuda, (2) Kiai Honggadiwangsa, (3) Kiai
Djojotaroeno, (4) Kiai Ronodiwirjo, (5) Bagus Sanglir (Arung Binang V), (6)
Raden Ayu Tirtodipoero, dan (7) Raden Ayu Mangundirdjo (istri Arung Binang VI).
Arung
Binang VI keturunan kelima atau keenam dari Jaka Sangkrip silsilahnya (1) Jaka
Sangkrip. (2) Nyai Abdul Salam, (3) Raden Tirtodiwirjo, (4) Raden Ngabehi
Tirtodirdjo, (5) Raden Adipati Mangundirdjo (Arung Binang VI), atau (1) Jaka
Sangkrip, (2) Raden Ngabehi Honggodirdjo, (3) RM Rio Soerjodirdjo (Arung Binang
III), (4) Raden Ayu Tirtodiwirjo, (5) Raden Ngabehi Tirtodirdjo, (6) Raden
Adipati Mangundirdjo (Arung Binang VI). Raden Mangundirdjo adalah saudara
sepupu sekaligus menantu Arung Binang III.
Arung
Binang VI mempunyai dua anak yang memakai Arung Binang, yaitu Raden Maliki
Soerjomihardjo atau Arung Binang VII dan Raden Adipati Soemrah Sosrohadiwidjojo
atau Arung Binang VIII.
D. Sejarah Trah Sruni
Babad
Sruni diterbitkan oleh Raden Soemididjojo (1953 b) mengubungkan silsilah dengan
Majapahit. Tumenggung Kertinagara I disebut sebagai anak dari Tumenggung
Pramonca yang tinggal di Sruni dan cucu Patih Dalem Kasultanan Pajang Ki Mas
Monca (Harya Moncanagara). Silsilah ini dilengkapi empat tokoh yakni Brawijaya
Wekasan (Majapahit), Raden Jaka Pekik (Harya Jaranpanolih), Harya Leka
(Sumenep). Mas Tumenggung Kertinagara I mempunyai dua istri, istri yang tua
melahirkan Ki Kertileksana sedangkan istri muda melahirkan anak perempuan yakni
Mas Rara Rinten.
Silsilah
Sruni merupakan alat untuk melegitimasikan keberadaan penguasa di Sruni
sekaligus perlawanan terhadap raja Mataram. Teks Babad Sruni melukiskan dua
peristiwa pemberontakan terhadap raja Mataram yaitu Tumenggung Kertinagara di
Sruni dan Trunajaya. Daerah pengaruh Sruni sendiri sampai tanah Roma (batas
barat), batas utara tanah Ledok (Wanasaba), batas timur Kutawinangun dan batas
selatan Samudra Indonesia.
Sebelum
pusaka Kiai Jabardas diserahkan kepada raja, diibukota telas meletus
pemberontakan Trunajaya. Dalam peristiwa ini sunan meloloskan diri dari keraton
kearah barat dengan Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Puger serta prajurit
pilihan. Ketika sampai di Panjer para pemberontak dihadang prajurit Sruni
dibawah pimpinan Ki Kertileksana, Ki kertisentika dan Demang Sutawijaya. Ki Demang
Sutawijaya menyusul Sunan dan beristirahat di Banyumas karena beliau menderita
sakit. Ki Demang menyatakan bahwa ia berhasil memperoleh pusaka Kiai Jabardas.
Ki
Demang mengusulkan kepada raja agar dosa Ki Tumenggung Kertinagara diampuni.
Raja juga memutuskan daerah Sruni sudah dikuasai sebelum diserahkan
pengelolaannya kepada Tumenggung Kertinagara. Daerah kekuasaan tumenggung Sruni
Panjer, Roma, Semawung, dan Ledok. Kewajibannya menyerahkan bulu bekti setiap
tahun ke ibukota Mataram. Pemberontakan Trunajaya dipadamkan dan Pangeran
Adipati Anom menjadi raja dengan gelar Susuhan Amangkurat II. Ki Kramaleksana
mendapatkan anugerah raja, yaitu jabatan mantra pamajegan di Klegen Kilang,
wilayah Sruni dengan gelar Ngabehi.
Perjalanan
Kertisentika kearah utara dan sampai di hutan Sirnabaya. Pada suatu malam
Kertisentika mendapatkan bisikan gaib dari ayahnya agar pergi ke Kabupaten Roma
karena disanalah ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Akhirnya
Kertisentika diambil sebagai menantu Mas Tumenggung Roma. Kramaleksana beristri
dua yaitu istri yang tua adalah putrid Raden Tumenggung Kertinagara I dan istri
mudanya adalah putrid Tumenggung Wiraguna dari Kartasura, kramaleksana
mempunyai 15 orang anak dari dua istri yaitu, (1) Ngabehi Wiryakrama menjadi mantri
gunung di Tlagagapitan. Anak perempuan Ngabehi Wiryakrama menjadi selir Sultan
Hamengku Buwana II dan berputra Gusti Raden Ayu Pringgadirja. Selir dianugerahi
nama oleh raja, yaitu Bandara Raden Ayu Nilaresmi, (2) Mbokmas Dipayuda, (3)
Ngabehi Kramadirja menjadi mantri nangkil di Keraton Yogyakarta. Setelah
pension, ia kembali ke Selang dan berganti nama Ki Kramasentika, (4) anak
perempuan yang diambil selir oleh Sultan Hamengkubuwana I dan diberi nama
Bandara Raden Ayu Dayahasmara. Selir melahirkan tiga orang putra, Bandara
Pangeran Harya Handikusuma, Bandara Raden Ayu Juru, dan Bandara Pangeran Harya
Balitar, (5) Mbokmas Kramayuda, (6) ki Secawijaya menjadi mantri nangkil di
Keraton Yogyakarta. Ia menggantikan saudarannya yang bernama Ngabehi Kramadirja,
(7) Ki Kramadiwirya, (8) Ngabehi Resadirja memperistri Trah Mangkunagara, yaitu
buyut Pangeran Sambernyawa Surakarta, (9) Ngabehi Kramataruna, (10) Ki
Kramatirta, (11) Ki Resadiwirya, (12) Mbokmas Wiryayuda (Setrareja), (13)
Mbokmas Resapraja (Kramasentika), (14) Ki Honggawijaya menjadi mantri dengan
nama Ngabehi Kramayuda ia beristrikan seorang wanita dari Surakarta dan
berputra Ngabehi Jayapranata. Ngabehi Jayapranata menjadi Patih Mangkunegara.
Anak perempuan dijadikan selir oleh Mangkunegara III dengan nama Mas Ajeng
Dayaresmi. Selir melahirkan Raden Mas Suryahandaka dan Raden Ajeng Kuning. Anak
kedua dipersunting Kanjeng Pangeran Harya Gandahatmaja. Gandahatmaja adalah
putra Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara IV di Surakarta dan (15) Mbokmas
Jawidenta.
Anak
Ngabehi Kramaleksana nomor 1-5 adalah anak istri tua, sedangkan nomor 6-15 anak
istri muda. Versi lain mengatakan bahwa istri Kramaleksana ada tiga orang dan
istri yang ketiga berasal dari Yogyakarta. Versi lain menyebutkan bahwa anak Kramaleksana
berjumlah 12 orang. Mbokmas Dipayuda, Mbokmas Resapraja, dan Mbokmas Jawidenta
tidak ada. Versi itu berasal dari silsilah Kanjeng Raden Harya Adipati
Danuredja V disebut Kanjeng Pangeran Harya Juru. Keturunan Ngabehi Kramaleksana
ada tiga orang yang masuk keraton yaitu, (1) Anak (Bandara Raden Ayu
Dayahasmara) selir Hamengkubuwana I, (2) Cucu (Bandara Raden Ayu Nilaresmi),
(3) Buyut (Mas Ajeng Dayaresmi) selir Mangkubuwana III.
Babad Sruni
merupakan alat legitimasi tokoh Kertinagara I sebagai Tumenggung Sruni yang
wibawa. Kewibawaannya dibangun dari silsilah dari Majapahit yang dihubungkan
dengan local Bagelan dan Madura. Legitimasi diperkuat dengan munculnya dua
orang anak Kartinegara I yang sakti, serta keberanian Kartinegara I
merencanakan pemberontakan terhadap raja Mataram Sultan Amangkurat Tegalarum.
E. Sejarah Trah Kolopaking dan
Wangsanegaraan
1. Silsilah Raden Riya Prayadirja
(Serat Sujarah Banyumas)
Dikisahkan
Prabu Brawijaya V mempunyai banyak putra, dua orang Putra Prabu Brawijaya V
menyingkir dari ibukota, yaitu (1) Raden Jaka Luhur atau Sri Anom atau Bondan
Surati dari permaisuri Andarawati. Jaka Luhur berdiam di Gunung Kidul dan
bertapa di Gunung Kidul dan bertapa di Gunung Rambut Tumbal, (2) Raden Jaka
Wanabaya I, (3) seorang wanita yang diperistri Kiai Ageng Urengjati. Jaka Balut
bergelar Kiai Ageng Mangir I mempunyai putrid bernama Rara Ngisah. Rara Ngisah
diperistri Raden Jaka Wanabaya I, Raden Jaka Wanabaya I bergelar Ki Ageng
Mangir II. Ki Ageng Mangir II berputra Ki Ageng Mangir III (Kiai Wanabaya II)
Ki Ageng Mangir I meminjam ladhing tugel kepada
Rara Jegong sambil member pesan ”Gedhuk
kowe nganggo ladingku, aja koselahake pangkon menawa ilang. Yen ora kanggo,
slempit-slempitake bae”. Rara Jegong lupa pesan tersebut sehingga lading itu hilang. Ki Ageng Mangir I
berkata “ladhinge ilang gendhuk? Ya wus
pinasthi, aja dadi rudatimu wus ilang mangsaa bisa ketemu.
Ular
Baru Klinting setelah sampai di mulut Gua Rangga bermaksud untuk masuk, tetapi
dihalangi oleh Kiai Wanabaya I. Baru Klinting berkata “Ingsun Aran Baru Klinting takon sudarma. Sapa kang yoga? Ana kang tutur
yekti sira kang yoga.”Kiai Wanabaya menjawab,”ya ingsun gelem ngaku suta, yen bisa ngukur satepunge Gunung Merapi
ngangga sadawaning awak sira”. Kemudian, Gunung Merapi dililit oleh Baru
Klinting, tetapi panjang badanya masih kurang satu depa. Baru Klinting
menjulurkan lidahnya. Melihat hal itu, Kiai Wanabaya I segera menebas lidah itu
dan Baru Klinting mati. Lidah tersebut berubah menjadi tombak yang amph, yaitu
Baru Klinting. Tombak Baru Klinting diwariskan kepada Kiai Wanabaya II (Ki
Ageng Mangir III).
Ketika
terjadi peristiwa perang Trunajaya, Kanjeng Sunan Amangkurat Tegalarum
meloloskan diri dari keraton. Pelarian diiringi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Anom, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Puger, Raden Ayu Keleting Dadu, dan Raden
Ayu Kaleting Abang. Kanjeng Sunan berkeinginan untuk meminum kelapa muda.
Karena sudah malam dan kebetulan hujan, Ngabehi Kertawangsa hanya dapat
menyajikan kalapa aking. Sejak saat
itu Kiai Ngabehi Kertawangsa diberi nama Kiai Ngabehi Kalapa Aking I. lama
kelamaan nama Kalapa Aking berubah menjadi Kolopaking.
Kiai
Ngabehi Kalapa Aking I berputra Bagus Mandangin memakai gelar Kiai Bagus Kalapa
Aking II. Kiai Bagus Kalapa Aking II berputra Bagus Soleman. Bagus Soleman
menikah dengan putrid Kiai Nalaparaya, Bagus Soleman memakai gelar Kiai Bagus
Kertawangsa III dan tidak memakai Kelapa Aking. Kertawangsa III memiliki anak
bernama Mas Tumenggung Kertawangsa IV, atau Kalapa Aking III. Mas Tumenggung
Kalapa Aking III mempunyai tiga istri padmi, (1) istri tertua anak Raden
Resapraja II, Ngabehi Selang Sruni dan cucu Kanjeng Raden Tumenggung
Kartanagara (Bupati Roma Gombong), (2) Istri kedua anak Raden Tumenggung Arung
Binang II, Bupati Siti Ageng Surakarta. (3) Istri muda anak Kanjeng Raden
Adipati Danuredja Ii, Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta. Danuredja II disebut
Danuredja Seda Kedhaton. Beliau kakek
Sultan Hamengku Buwono V Dan VI.
Dari
perkawinannya Mas Tumenggung Kalapa Aking III berputra dua belas anak. Yang
lahir dari istri pertama Kanjeng Raden Adipati Kertanegara I,Bupati
Karanganyar. Yang lahir dari istri kedua Raden Suradahana dan Kanjeng Raden
Adipati Jayanegara I, Bupati Banjarnegara, yang lahir dari istri ketiga
meliputi (1) Raden Ayu Antawirya, (2) Raden Riya Jayadirja, (3) Raden
Kertawongsa, (4) Raden Ayu Gandadimeja, (5) Raden Riya Prayadirja III (bernama
Kalapa Aking), (6) Raden Bagus Samadi, (7) Raden Bagus Sahitma, (8) Raden Riya
Prawiradireja (Prawiraharja), (9) Raden Lurah Prajadimeja. Keturunan Mas
Tumenggung Kalapa Aking III termuat Serat
Sujarah Banyumas.
Pelarian
Sunan Amangkurat Tegalarum sampai di Panjermelegimitasikan trah Kolopaking
karena asal mula nama trah muncul sebagai hadiah Sunan, disamping hadiah
putrid, Raden Ayu Keleting Abang. Dimunculkan trah Mataram bercampur dengan
trah Kolopaking. Trah yang berasal dari Wedi,Bagelan ditampilkan dalam
silsilah. Dengan demikian tokoh Soemitro Kolopaking masih keturunan Majapahit,
Syekh Geseng, Mangir, Panembahan Senapati, Amangkurat Tegalarum, Bagelan,
Arungbinangan, Ambal, Mertadiredjan Banyumas, dan Dipayuda Banjarnegara
(Priyadi 2002: 197-204).
2. Kolopaking versi Tedhakan Serat
Soedjarah Joedagaran
Silsilah
dimulai dari Panembahan Senapati Mataram sebagai cikal bakal menurunkan trah Kolopaking
dengan urutan sebagai berikut: (1) Panembahan Senapati, (2) Raden Ayu Pambayun,
(3) Kiai Madusena (Makam di Waja Bagelan), (4) Kiai Badranala (makam di Gunung Geyong,
Kuwarasan), (5) Kiai Kertasuta, (6) Kiai Curiga, (7) Kiai Kertawangsa
(Kalapaaking I) (8) Kiai Kertawangsa Madengis (Kalapaking II), (9) Kiai
Kertawangsa Suleman (makam di Kalijirek, Kebumen), (10) Kertawangsa (Mas
Tumenggung Kalapaking III).
Keturunan yang kesepuluh memiliki
istri tiga, istri pertama putri Raden Ngabehi Reksapraja II (Ngabehi Sruni),
istri kedua putrid Raden Tumenggung Arung Binang II (Bupati Wadana Siti Ageng
di Surakarta, asli Klegen), istri ketiga putrid Kanjeng Raden Adipati Danuredja
II (Pepatih Dalem ingkang Sinuluh Kanjeng Sultan Hamengku Buwana II).
Istri
pertama (Sruni Selang) melahirkan Raden Adipati Kartanegara, Bupati Karanganyar
kawin dengan putrid Raden Adipati Cakrawadana, Bupati Cilacap. Istri kedua
(trah Arung Binang) melahirkan Raden Nganten Suradahana dan Raden Adipati
Jayanagara. Istri ketiga (trah Danuredjan) melahirkan Sembilan anak yakni,
Raden Ayu Antawirya (Makam Mulangi), Raden Riya Jayadirja (Makam Karangturi,
Wiyata), Raden Kertawangsa, Raden Ayu Gandadimeja (Makam Mulangi), Raden Riya
Prayadirja III (Kalapaaking), Raden Bagus Saitman (meninggal waktu bayi), Raden
Bagus Muradi (meninggal waktu bayi,Makam Kalijirek Kebumen), Raden Riya
Prawiraharja (Bupati Anom Patih Dalem Pangabehan, Makam di Beran), dan Raden
Lurah Prayadimeja (Lurah Penandhong
Yogyakarta).
Raden
Adipati Kartanegara berputra sepuluh (nomor 1-7 lahir dari istri padmi putrid
Raden Adipati Cakrawadana, nomor 8-9 dari istri padmi dari Banjarnegara, dan
nomor 10 dari istri selir): (1) Raden Ayu Padmakusuma (Istri Raden Ngabehi
Padmakusuma, Ondar Patih Kebumen merangkap wadana kota, trah Cakranagaran,
Bagelan), (2) Raden Ayu Wangsakusuma (istri Wadana Kutoarjo, trah Blitar dari
Susuhunan I), (3) Raden Ayu Prawirengkusuma (istri Wadana Pekalongan), (4) Raden
Ayu Patih Kertadireja (istri Patih Cilacap), (5) Raden Tumenggung Kartanagara
II, Bupati Karanganyar (menantu Raden Adipati Mertadiredja III, Banyumas), (6) Raden
Wadana Sukarna, (7) Raden Ayu Mangkusubrata (istri juru tulis Kabupaten
Banjarnegara, trah Banjar), (8) Raden Ayu Padmakusuma (lihat nomor 1), (9) Raden
Rara Marwi, dan (10) Raden Rara Martijah.
Raden
Nganten Suradahana berputra (1) Raden
Subrata, (2) Raden Suradirja, (3) Raden Suratmi, (4) Raden Atmasungwangsa, (5)
Raden Sulam.
Raden
Adipati Jayanegara I, Bupati
Banjarnegara berputra (1) Raden Wadana Jayamisena (lahir dari istri trah Ambal,
putrid Raden Adipati Poerbanagara, menjadi menantu Raden Adipati Mertadiredja
III, Banyumas), (2) Raden Sutapa (lahir dari istri putrid Raden Adipati
Cakranagara I, Purworejo), (3) Raden Hurip (dari selir), (4) Raden Windu (dari
selir), (5) Raden Rara Salamah (dari selir), dan (6) Raden Rara Surtinah (dari
selir).
Raden Antawirya
berputra Raden Nganten Jagadiwirya dan Raden Nganten Pancapati. Raden Riya Jayadirja (bupati anom maosan
dalem di Sentolo) kawin dengan putrid Tumenggung Wiraguna berputra Raden Lurah
Prawirarana dan Raden Nganten Prawirasudira (menantu Mas Lurah Mangkuwerdaya
dan melahirkan Raden Sumarja dan Raden Rara Musinah). Yang lahir dari selir
(anak Demang Jlaban) adalah Raden Nganten Sastrasuwita.
Raden kertawangsa
berputra Raden Ngabehi Dermareja. Raden
Ayu Gandadimeja berputra Raden Bekel Natawireja dan Raden Ngabehi
Kertadimeja.
Raden Riya Jayadirja kawin
dengan putrid Kanjeng Raden Adipati Danuredja V berputra Raden Sastradipa
(meninggal), Raden Ngabehi Jayarejasa (Mantri Miji di Kadanuredjan), Raden
Tejaresmi (selir BPH Hadinagara putra Sultan Hamengku Buwana VII, melahirkan
BRM Sudarmadi, BRM Suhardi, dan BRA Suyati), Raden Ajeng Suratminah, Raden
Ajeng Rujinah, dan Raden Rara Umyung, Raden Bagus Sudarsa, dan Raden Rara
Surti.
Raden Riya Prawiraharja (bupati
anom Patih Yogyakarta) beristri putrid Tumenggung Puspanagara dan berputra
Raden Ayu Atmatarna (istri Lurah Atmataruna, melahirkan dua orang anak: Raden
Ajeng Sutinah dan Raden Mas Suradi), Raden Ayu Atmasuwita (istri Raden Bekel
Atmasuwita), Raden Riya Prawiraharja (menggantikan kedudukan ayahnya).
Raden
Lurah Prayadimeja (lurah abdi dalem Panandhon) dari selir berputra Raden Bagus
Suparja, Raden Bagus Saparjan, Raden Bagus Sapardi, dan Raden Rara Sapariyah.
Disamping
silsilah diatas, disini juga ada beberapa keterangan sebagai berikut:
(1) Raden
Ayu Kalapaaking setelah suaminya wafat, kawin dengan Mas Tumenggung Wiranagara,
(keduanya dimakamkan di Wiyara, Karangturi) berputra Raden Bagus Umar.
(2) Anak
Kiai Kertasuta yang kedua, Kiai Kertadipa bergelar Kiai Wangsanagara menurunkan
Mas Ajeng Bratadiningrat (istri Raden Tumenggung Bratadiningrat).
(3) Kiai
Kertawangsa II berputra empat yakni Kiai Kertawangsa Suleman, Kiai Mertawangsa,
Nyai Resawijaya, dan Nyai Kertadrana.
(4) Putrid
Raden Reksapraja II, yakni Mas Ajeng Kertawangsa, Kramaleksana putra Kiai
Sutapraya. Sutapraya anak Kiai Sutamenggala. Sutamenggala putra Kiai Aden.
Mereka trah Pangeran Maduretna.
(5) Kiai
Kramaleksana berputra 12 anak yakni (1) Kiai Wiryakrama, (2) Ki Kramayuda (
Sruni), (3) Raden Ayu Dayaasmara (selir Sultan Hamengku Buwana I),(4) Bok Ajeng
Dipayuda, (5) Mas Kramadirja, (6) Mas Kramadiwirya, (7) Mas Resadirja, (8) Mas
Kramataruna,(9) Mas Kramatirta, (10) Mas Resadiwirya, (11) Mas Ajeng Wiryayuda,
(12) Mas Kramayuda. Keturunan Kiai Kramaleksana.
3. Kronik Kolopaking
Tirto
Wenang Kolopaking (1997) berjudul Sejarah
Dinasti Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking (1677-1832) menyatakan
bahwa Kertawangsa Sulaiman atau Bagus Soleman sama dengan KRAT Kolopaking III.
Persoalan
lain bahwa dalam buk karya Kolopaking (1997: 11-12 & 38) urutan waktu
kronologis perjalanan Sunan Amangkurat I
TANGGAL
|
KEJADIAN
|
30 Juni 1677
|
Rombongan Sunan Amangkurat Agung I
memasuki daerah Panjer Roma. Sore harinya sudah sampai kota Panjer
|
1 Juli 1677
|
Sunan Amangkurat Agung I dalam
perawatan Kiai Ageng Kertawangsa
|
2 Juli 1677
|
Sunan Amangkurat Agung I sembuh dari
sakitnya Kiai Ageng Kertawangsa mendapat anugerah gelar Kalapa Aking
(Kolopaking).
|
3 Juli 1677
|
Rombongan Sunan Amangkurat Agung
melanjutkan perjalanan. Kiai Ageng Kertawangsa kembali ke Panjer Roma dari
Nampudadi.
|
Kronik
diatas menunjk pada historis trah Kolopaking yang lahir pada 2 Juli 1677.
Peristiwa tersebut merupakan legitimasi keluarga Kolopaking sebagai penguasa
Panjer Roma. Hasil rekontruksi Hermanus Johannes de Graaf (1987b: 199,
bandingan Kartodirdjo 1997: 197, Ricklefs 1991: 115, Reksodirdjo tt: 2) dipakai
untuk menyusun kronik diatas. Rekontruksi H.J. de Graaf
Hari
|
Kejadian
|
Tanggal
|
Berita yang diterima Outers di
Tegal
|
Pertama
|
Dari keraton ke Imogiri
|
28 Juni
|
|
Ke-2
|
Dari Imogiri ke Jagabaya
|
29 Juni
|
|
Ke-3
|
Dari Jagabaya ke Rawa
|
30 Juni
|
|
Ke-4
|
Dari Rawa ke Bocor
|
1 Juli
|
|
Ke-5
|
Dari Bocor ke Petanahan
|
2 Juli
|
|
Ke-6
|
Dari Petanahan ke Nampudadi
|
3 Juli
|
7 Juli
|
Ke-7
|
Dari Nampudadi ke Pucang
|
4 Juli
|
|
Ke-8
|
Dari Pucang ke Banyumas
|
5 Juli
|
10 Juli
|
Ke-9-11
|
Istirahat di Banyumas
|
6-8 Juli
|
|
Ke-12
|
Dari Banyumas ke Ajibarang
|
9 Juli
|
|
Ke-13
|
Dari Ajibarang ke Wanayasa (Winduaji)
|
10 Juli
|
12Juli
|
Ke-14-15
|
Dari Wanayasa (Winduaji) ke Tegalrum
|
11-12 Juli
|
|
Ke-16
|
Pemakaman di Tegalrum
|
13 Juli
|
|
Tokoh
pertama yang ditonjolkan adalah Raden Bagus Bradnala yang lahir tahun 1603.
Tokoh ini dicatat oleh sejarah trah sebagai pengawal bahan makanan yang
dikirimkan ke Jayakarta atau Batavia ketika Sultan Agung mengadakan ekspedisi
untuk menghancurkan VOC di Batavia. Tokoh kedua menonjol pada tahun 1677, ia
mendapat anugrah nama baru dan seorang istri triman yang bernama Raden Ayu Dewi Mulat, putrid Raja Mataram Sunan
Amangkurat I. tokoh ketiga, Raden Kertawangsa Mandingen (versi lain Mandangin)
adalah putra Kolopaking I yang menonjolkan peran dalam penyerbuan ibukota
Mataram untuk menumpas pemberontakan Trunajaya pada pertengahan tahun 1678.
Tokoh keempat, Kiai Kertawangsa Sulaiman (versi lain: Bagus Soleman) atau Raden
Sulaiman Kertawangsa membantu Pangeran Mas Garendi dalam peristiwa Geger
Pecinan. Tokoh kelima, Kiai Kertawangsa IV atau Kolopaking IV (seharusnya III,
versi teks Banyumas). Menurut trah Kolopaking merupakan masa kejayaan atau
keemasan Kadipaten Panjer Roma VI (1809-1832). Tokoh keenam adalah Adipati
Kertanagara I (bupati Karanganyar II, 1864-1885, putra KRAT Kolopaking III).
Tokoh ketujuh adalah Kanjeng Raden Adipati Arya Soemitro Kolopaking
Poerbonegoro menjadi bupati Banjarnegara (1927-1945).
4. Soemitro Kolopaking Poerbonegoro
Otobiografi
Soemitro seluruhnya ada 91 + iv halaman. Soemitro member “kata pendahuluan”
tertanggal 7 Desember 1968, disamping itu ada lampiran yaitu tulisan Dwidjo
Hardjosoebroto dan kutipan ahli Antropologi budaya, Prof. Dr. J. Van Baal.
Tulisan Dwidjo Hardjosoebroto berjudul “ siapa dan apakah Raden Adipati Ario
Soemitro Kolopaking Poerbonegoro Guru Agung Pertama pada Loge Agung Indonesia?
Tulisan yang diterbitkan oleh Berita Loge Agung Indonesia No.3 bulan Agustus
1959.
Lampiran lain adalah kutipan tulisan
J. Van Baal berjudul Mensen in
Verandering: Ontstaan en Groei van een Nieuwe Cultuur in Ontwikkelingslanden
(1967: 128-131. Lampiran ini merupakan kesan-kesan yang diperoleh ketika
menjadi sekretaris Residen Banyumas Dr. J. van Baal sering mengikuti perjalanan
Soemitro menjadi bupati.
Soemitro
Kolopaking lahir di Papringan, Kabupaten Banyumas, Karisidenan Banyumas, 14
Juni 1887. Riwayat pendidikan antara lain: Sekolah Jawa (1893-1896), Europese
Lagere School (1896-1901), Gymnasium Willem III (H.B.S. 5 tahun) di Jakarta dan
Leiden (1901-1907), mahasiswa Indologie Di Leiden (1907-1914).
Tahun
1917, Soemitro belajar selama dua tahun di Sekolah Polisi Jakarta dan lulus
1919, kemudian Soemitro ditempatkan di Bandung sebagai komisaris polisi kelas
II (seksi chef), naik pangkat menjadi komisaris I (1922) dan menjadi gewestelijk Leider de Veldpolitie di
Karisidenan Priyangan Lama. Veldpolitie sama dengan Brimob dalam kepolisian
Indonesia. Soemitro merupakan seorang pribumi yang menembus jabatan lebih
tinggi daripada Hoofpolitieopziener.
Tiga
bulan kemudian Soemitro mendapat izin dari Sekolah Pelayaran Makasar (Zeevaartschool
Makasar) untuk mengirim anak Parta Kutang ke Makasar. Setelah menjabat sebagai
komisaris polisi di Priyangan (1922-1925), Soemitro diangkat menjadi Wedana
Sumpyuh atas permintaan keluarganya di Banyumas, selanjutnya Soemitro diangkat
menjadi bupati Banjranegara (1926-1950) untuk menggantikan ayahnya. Pada masa
revolusi Soemitro pernah menjadi Residen Pekalongan 9merangkap bupati, 1945)
dan merangkap Gubernur yang dibantu oleh Kementerian Dalam Negeri tahun 1946.
Tahun 1947-1949 ikut bergerilya. Soemitro pernah menjadi anggota DPR tahun 1955
dan pension sebagai pegawai negeri tahun 1957 bulan November. Soemitro adalah
bupati Banjarnegara tiga zaman, masa pemerintahan colonial Belanda, masa
pendudukan Jepang dan masa Republik Indonesia.
Selain
bupati Banjarnegara, Soemitro tidak sekedar menerima laporan yang disampaikan
Wedana tapi ia juga turun ke desa-desa untuk mengetahui persoalan di berbagai
bidang seperti keamanan, pertanian, peternakan, kehutanan, pengairan,
keagamaan, pendidikan dll. Kabupaten Banjarnegara pada zaman colonial Belanda
meliputi kurang lebih 250 desa terbagi menjadi 50 penatus.
Pada
periode 1930-1936 dunia dilanda krisis ekonomi malaise, dimana uang sangat sedikit yang beredar, sebaliknya
barang-barang kebutuhan manusia amat melimpah. Situasi ini meresahkan penduduk
desa khususnya Distrik Wonodadi. Pada tahun 1933, Soemitro mengunjungi Distrik
Wonodadi.
5. Wangsanegara versi Tedhakan
Serat Soedjarah Joedanagaran
Teks
yang menerangkan bahwa naskah berasal dari juru kunci yang bernama Secadiwangsa
yang menyatakan petilasan Beji Kuwarasan diciptakan oleh Kiai Geseng, sedangkan
orang yang pertama membuka daerah itu Kiai Nayapatra. Kiai Nayapatra mempunyai
anak perempuan yang dinikahi Kiai Badralana (anak Kiai Madusena, cucu Raden Ajeng
Pambayun dari Mataram). Yang melahirkan dua anak, yaitu Kiai Kretasura dan Kiai
Hartrasuta. Kiai Kertasura berputra Kiai Curiga. Kiai Curiga berputra dua anak
yaitu Kiai Kretadipa dan Kiai Kretawangsa. Kretadipa mendapat pangkat ngabehi
dengan nama Wangsanagara. Wangsanagara (Kretadipa) berputra Kiai Ngabehi
WangsanagaraOmpong, Wangsanagara Ompong berputra Kiai Ngabehi Wangsanagara
Kucir,dan Wangsanagara Kucir berputra Kiai Sutapatra atau Kiai Wangsanagara
Sugih.
Teks diatas menyebutkan empat anak
ngabehi bergelar Wangsanagara. Silsilah Kolopaking menunjukan adanya lima
orang. Satu orang tercecer adalah Wangsanagara IV. Wangsanagara Kucir adalah
Wangsanagara III (kecil Bagus Kucir atau Sutapatra I), Wangsanagara IV bernama
Bagus Suta atau Sutapatra II, sedangkan Wangsanagara V adalah Wangsanagara
Sugih atau Sutapatra III.
F. Sejarah Trah Kartanegara
(Karanganyar)
Trah
ini merupakan cabang dari trah Kolopaking, yaitu cabang keturunan Mas
Tumenggung Kolopaking III yang kawin dengan putrid Raden Reksapraja II (Ngabehi
Sruni Selang).
KRA Kartanegara I mempunyai lima
istri, yaitu (1) Mas Ajeng Karsih, (2) Mas Ajeng Kebaturan, (3) Raden Ayu
Kartanegara (putri bupati Cilacap Raden Adipati Cakrawedana II), (4) Raden
Nganten Mrtinah, (5) Raden Ayu Kertanagara (putri bupati Banjarnegara Raden
Adipati Dipadiningrat). Kelima istri melahirkan Trah Kertanagaran.
Mas
Ajeng Karsih melahirkan dua anak perempuan, yakni (1) RA Wongsodirdjo (istri
Raden Gondowidjojo, Kolektur Kutoarjo), (2) RA Tirtoatmodjo (istri Raden Tirtoatmodjo,
Asisten Wedana Wawar, Karanganyar. RA Wongsodirdjo berputra (a) RA Senting
Wirjodiprojo, (b) R. Salokan Atmodiredjo, (c) Rr. Soedjiah, (d) R. Mochamad
Wongsodiprodjo, (e) R. Toerseno Wongsoatmodjo, (f) R. Soepangkat, (g) R.
Majoor, dan (h) R. Madio sedangkan RA Tirtoatmodjo berputra (a) R. Ngt. Marsiah
Poerwosiswojo, (b) R. Ngt. Waginah Atmodiredjo, (c) R. Ngt. Waginem
Atmosoedirdjo, (d) R. Soekoer Hardjoatmodjo, (e) R. Ngt. Marjatin Martoprodjo,
(f) R. Ngt. Martinah Pringgodiredjo, (g) R. Rachmat.
Mas
Ajeng Kebaturan melahirkan anak yang bernama RA Saparinah Gondowidjojo
(istri Raden Gondowidjojo, Kolektor Kutoarjo). Selanjutnya ia mempunyai 10
anak, yakni (a) R. Potet Gondoprawiro, (b) R. Iskak Gondodirdjo, (c) R. Jakoep,
(d) R. Joesoep, (e) R. Iljas, (f) R. Ramelan, (g) R. Soeparman Gondosoediro,
(h) R. Ngt. Soedjirah Joedodirdjo, dan (i) Rr. Marsami.
RA Kartanegara (putrid Kangjeng
Raden Adipati Cakrawedana II, bupati Cilacap) mempunyai tujuh anak, yaitu (1)
RA Marsidah Padmokoesoemo (istri pertama RM Padmokoesoemo, Wedana Kebumen), (2)
RA Marsinah Wongsokoesoemo (istri RM Wongsokoesoemo, Wedana Kutoarjo), (3) RA
Ketem Prawirengkoesoemo (istri RM Prawirengkoesoemo), (4) RA Moengsi
Kartodiredjo (istri R. Kartodiredjo, Wedana Purworejo, Banyumas), (5) RT
Soekadis Kartanegara (Bupati Karnganyar), (6) R. Soekarno (Wedana Comal), (7)
RA Marsijah Mangkoesoebroto (istri RM. Mangkoesoebroto, Patih Banjarnegara)
merupakan keturunan dari tujuh orang diatas. Pertama RA Marsidah Padmokoesoemo berputra (a) RM Soegoro Tjokrodihardjo, (b)
RM Soetinah Nosingo, (c) RM. Soeprapto, (d) RM. Soetarno, (e) RM Soerowo
Padmoadikoesoemo, (f) Dr. RM Achmad, (g) Dr. RM Goembreg, dan (h) RA Kalimah
Soemarsono. Kedua, RA Marsinah
Wongsokoesoemo berputra (a) RM Soegoro Tjokrodihardjo, (b) RM Soetinah
Nosingo, (c) RA Soebinah Pringgosapoetro, (d) RA Soertinah Notoadiserojo, (e)
RM Mochamad (RT Mertopoero), (f) RM Ibrahim, (g) RA Soetiah Samdani
Padmokoesoemo, dan (h) RM Soebardjo. Ketiga RA Ketem Prawirengkoesoemo mempunyai anak yaitu, RM Sadjoeliman (yang
beristrikan RA Tjipeng dan Rr. Soemiarsih Soemodilogo). Keempat, RA Moengsi Kartodiredjo berputra R. Imam
Soepeno. Kelima, RT Soekadis Kartanegara beristrikan
R. Ngt Sadikin dan seorang putrid Bupati Banyumas (1879-1913) Pangeran Aria
Mertadiredja III yang berputra (a) R. Rachmat Soedibjo, (b) RA Marlinah
Nitisoebroto, (c) R. Soedjono, (d) R. Soemarsono, (e) RA Marlinah Soeleman M,
(f) Ir. R. Sarengat Kartanegara, (g) RT Sapanagat Kartanegara, (h) R. Sabengat
Kartanegara, (i) Prof. Mr. R. Satochid Kartanegara, (j) R. Sajidiman
Kartanegara (beristri RA Sajidin), dan (k) RA Martinah Notokoesoemo. Keenam, R. Soekarno (beristrikan putrid bupati
Pemalang) dan berputra (a) R. Soekarman, (b) R.Soekarso, (c) R. Soekartono, dan
(d) RA Soelasmi (Soetarmi) Moh. Soerodis. Ketujuh, RA Marjisah Mangkoesoebroto berputra delapan yakni (a) RM Soedarto
Mangkoesoebroto, (b) RA Djaloe Soedarsono, (c) RA Koestiah Stamboel, (d) RM
Samdiah Goembrek, (e) RM Soedarjono, (f) RA Soebaniah Soedana Gandsoebrata, (g)
Dr. RM Abdoel Kadir, dan (h) RA Siti Fatimah Poesponegoro.
R.Ngt Moertinah berputra RA Salamah
Atmodikoesoemo mempunyai tujuh anak yaitu (a) RA Soeminah Tedjoaoemarto, (b) RM
Soedjadi Atmodikoesoemo, (c) RM Soediono (istri Rr. Lily Siti Marliah), (d) RA
Soewarti (istri M. Tilam Tjokromintardjo, (e) RA Soerati (R. Soelarko), (f) RA
Soetini (suami Adi Soegio), (g) RM Soejadi Atmodikoesoemo.
RA Kartanegara (putrid Bupati
Banjarnegara, Raden Adipati Dipadiningrat) berputra lima, yaitu (1) RA Marsinah
Padmokoesoemo (istri kedua RM Padmokoesoemo, Kolektur Karanganyar) yang
melahirkan lima orang anak yakni, (a) RA Moersinah Soetjipto, (b) RM Soekamsi,
(c) RM Soeparno, (d) RA Martijah Soemarto Pringgowidharso, (e) RA Soemijah
Padmosoewarno. (2) RA Soemarwi (istri R. Soemardan, asisten Wedana Kebumen)
Soemardan tidak memiliki putra, (3) RA Soetipah (wafat muda), (4) R. Soemardjo
(wafat muda), (5) RTA Slamet Kartanegara (Bupati Tegal) berputra (a) R.
Soemarjo Kartanegara, (b) R. Bambang Kartanegara, (c) R. Seno Kartanegara, (d)
RA Djoharin Kartanegara, (e) RA Sri Redjeki Kartanegara, (f) RA Roestini
Kartanegara, (g) RA Darmini Kartanegara, dan (h) RA Dinah Kartanegara. Dalam
silsilah ini menunjukan keluarga Kartanegara hanya ada dua orang yang menjadi
Bupati Karanganyar.
Kebudayaan
Kebumen
a.
Kesenian
Khas Kebumen
Di daerah Kedu telah dikenal dengan
kesenian yang bernama Wayang urang yang
memakai topeng yang dibungkus dengan bahan. Khas kesenian ini adalah para
pemain mengambil topeng dalam keadaan terbungkus. Kesenian wayang urang
mengambil cerita panji sebagai
basisnya (Prijono 1982: 21) sehingga muncul pelawak Penthul dan Kacung.
Kesenian lain yang menonjol adalah
tarian kuda kepang yang disebut jathilan.
Pertunjukan jathilan mirip dengan kesenian ebeg di daerah Banyumas yang mengkombinasikan barongan dengan
penari jaran kepang dan pelawak
Penthul dan Kacung. Perbedaan antara satu dengan daerah lain adalah tidak
adanya peran cepetan wadon atau
dipakai tidaknya selompet. Disamping
jathilan, di daerah Kedu dan Bagelan ditemukan kesenian taledhek yang disebut
ronggeng. Oleh masyarakat setempat, penari gadis disebut lengger sedangkan penari dewasa disebut ronggeng.
Di daerah Bagelan dikenal dengan
kesenian jemblung sering disebut menthiyet yang berarti bawaannya terlalu berat. Kesenian ini di
Banyumas kadang dilengkapi dengan tumpeng sebagai gunungan dan makanan lain seperti rempeyek atau krupuk sebagai
wayangnya. Nama wayang jemblung di daerah Banyumas disebut dhalang jemblung diambil dari nama Umarmadi yang dipanggil jemblung.
Pertunjukan ini tidak menggunakan alat melainkan menggunakan suara mulut yang
masih mengunyah makanan. Nuansa keislaman tidak hanya tampak pada kesenian
wayang jemblung, tetapi terlihat pada pertunjukan perjanjen atau barzanji yang
menceritakan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW naik ke surga.
Kesenian angguk merupakan kesenian yang
bernafaskan islam. Nama angguk dipakai berdasarkan gerak para penari yang
mengangguk-anggukan kepala atau lehernya. Penyebaranya meliputi Mataram,
Bagelan, Kebumen dan sampai ke Banyumas. Kesenian Jamjeneng atau Janeng
merupakan kesenian bernafaskan lagu islami yang diiringi alat music tradisional
gamelan (siter, ketipung, dan kendang), kenthongan dan terbang. Pentas janeng
dilakukan pada bulan Rabiul Awal pada acara peringatan kelahiran Nabi Muhammad
SAW atau bulan-bulan yang sesuai dengan tanggapan orang yang mempunyai hajat.
Teks Janeng pada intinya mengandung tiga bagian yaitu, (1) Gobyog berisi lagu
pembuka yang menerangkan keberadaan janeng (asal-usul kesenian janeng) dan
ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, (2) Kemengan adalah lagu yang
mengandung kalimat tauhid, menyerukan keesaan Allah, maksiat, dan tobat yang
dinyanyikan dengan cara kemeng (bertempo
cepat dank eras), (3) gendungan berisi pesan nasihat kepada manusia sebagai
hamba Allah untuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran islam sebagai lagu
penutup atau lagu akhir (Pangestuti 2001).
b.
Makanan
Khas Kebumen
1.
Makanan
Yang Dikenal Masa Kini
Jenis makanan yang dikenal oleh masyarakat Kebumen
adalah sate ambal, lanthing, karag, jipang kacang, dan emping mlinjo.
Sate Ambal sebenarnya sama dengan sate pada umumnya.
Sate terbuat dari daging ayam dengan bumbu tempe. Pemasakanya melalui
pembakaran pada tungku sehingga dagingnya bisa diatur matang atau setengah
matang. Jadi sate adalah makanan yang berada diantara kutub, yaitu kutub
alamiah (setengah matang) dan proses kebudayaan (matang).
Lanthing dan Karag adalah jenis makanan yang terbuat
dari ketela pohon atau singkong. Proses pembuatan kedua jenis ini sangat dekat,
maka jenis lain adalah gethuk. Gethuk
tawar yang berwarna putih jika tidak habis dikonsumsi bisa dibuat Lanthing
dengan cara membentuk lingkaran atau angka delapan setelah dibentuk memanjang.
Makanan karag disebut gethuk tawar putih. Istimewanya getuk tawar putih ialah
bisa dibuat makanan lain seperti ciwel dengan diberi zat bewarna yang
diambil dari pembakaran batang buah padi. Penyajiannya ditambah parutan kelapa
dan garam ataugula pasir.
Jipang kacang dibuat dari bahan kacang tanah dan
gula jawa. Makanan ini hampir mirip dengan angleng
pada masyarakat Banyumas atau Kalua
pada masyarakat sunda bedanya angling dan kalua dibuat bundar ukuran kecil
seperti rempeyek kacang, sedangkan Jipang Kacang dicetak dengan bentuk
tertentu. Kalau angling dan kalua digoreng sedangkan Jipang Kacang tidak.
Emping Mlinjo merupakan makanan khas masa kini
walaupun makanan ini bisa dikatakan khas Kebumen apabila ada kekhusuan dalam
memroses atau menciptakan cita rasa yang beda dengan daerah emping yang
dihasilkan di daerah lain.
2. Sasaji
Bagi Kiai Bandayuda
Kiai Bandayuda
menurut legenda selalu diberi sasaji pada Malam Jumat Kliwon dalam bentuk (1)Bunga
rampai, (2) wedang jembawuk (kopi dicampur air santan dan gula merah), (3)
arang-arang kambang (air panas dicampur jipang), (4) gecak bang (daging ayam
mentah dicampur air santan), (5) dua pisang ambon dibakar, (6) sirih dan
pinang, (7) dupa yang dibakar (Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo 1969:
93).
Apakah mas mengetahui tentang makam Trah Tirtodiwiryo di pulomarto-primbun kebumen
BalasHapusDusun saya di wilayah kabupaten Bojonegoro kok ada makam Mbah buyut arumbinang. Adakah keturunan arumbinang di Bojonegoro?
BalasHapusAnak KRT Kertinegoro dari istri pertama adalah 1.Kertileksana 2.Kertisentika 3.Rara Rinten.
BalasHapusDari istri ke dua punya anak perempuan
ini aku baca dalam babad Seruni.
Saya mau tanya, nama putra putri RM wongsodirjo ( Arungbinang II ) Siapa saja ?
BalasHapusKarena eyang udeg2 saya RA Setrawedana menurut keluarga besar saya putri dari Arungbinang II. Mudah2an dugaan say gak salah.
Nenek saya adalah putri yg hilang, sejak umur 7 THN tahun 1925an di bawa bibiknya ke perkebunan karet belanda d sumatera dan tidak kembali ke kebumen hingga akhir hayatnya.
BalasHapusYg beliau ingat," rumahnya di kebumen, sudah ada semacam listrik, dekat masjid, dekat pasar, paman Patih.