TUGAS SEJARAH INDONESIA MASA KOLONIAL
MASALAH
PERANG DI SULAWESI

DISUSUN UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATA KULIAH
SEJARAH INDONESIA MASA KOLONIAL
Dosen Pengampu : Asep Daud
Kosasih S.Pd M,Ag
Oleh
:
Restu Ikhtian Prayogo ( 130102017)
PROGAM STUDI PENDIDIKAN
SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohiim
Alhamdulillah puji syukur
atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-Nya dan karuniaNya,kami bisa
diberikan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini dengan judul “Masalah Perang Di Sulawesi”dengan tepat waktu dan baik, makalah ini
disusun guna memenuhi Tugas
mata kuliah sejarah Indonesia Masa Kolonial
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan
ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, penyusun
mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Dosen pengampu Asep Daud Kosasih S.Pd, M.Ag
2.
Semua pihak/rekan-rekan yang telah membantu
kelancaran penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, sudah barang tentu kritik dan saran penulis harapkan
dari pembaca guna melengkapi dan menyempurnakan kekurangan daripada penulis.
Semoga dengan disusunnya makalah ini penulis berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi kitasemua, khususnya bagi Mahasiswa program pendidikan sejarah
Purwokerto, 23 Maret 2015
penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang...................................................................................................... 3
b. RumusanMasalah................................................................................................... 3
c. TujuanMasalah....................................................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN
a. Mengapa
Disebut Perang Tondano....................................................................... 4
b. Mengetahui
Posisi Minahasa Sebelum Perang Tahun 1808-1809......................... 5
c. Faktor
Ekonomi Di Minahasa................................................................................ 6
d. Rentang
Waktu Perang Tondano.......................................................................... 7
e. Terjadinya
Perang Tondano................................................................................... 8
f. Suasana
Saat Perang Di Minahasa....................................................................... 13
BAB
III PENUTUP
a.
Kesimpulan.......................................................................................................... 16
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahwa
hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perang antara orang Minahasa dengan
kompeni Belanda, antara lain
dipengaruhi oleh sikap antipati seluruh Walak di Minahasa khususnya Walak
Tondano atas kedatangan kolonial Belanda yang dianggap sama dengan kolonial
asing sebelumnya, yakni orang Tasikela (Portugis
dan Spanyol) yang telah membunuh beberapa Tona’as antara lain Monomimbar dan
Rakian dari Tondano dan Tona’as Umboh dari Tomohon, serta adanya pemerkosaan
terhadap perempuan (Wewene) Minahasa. Hal ini membuktikan kesan bahwa semua
orang kulit putih (kolonial) memiliki perangai yang sama alias kejam. Demikian
juga pada perang ketiga, dipicu oleh tertangkapnya Ukung Pangalila Kepala Walak
Tondano dan Ukung Sumondak Kepala Walak Tampomas. Salah satu penyebab
terjadinya perang Tondano keempat (terakhir) adalah bahwa Minahasa tidak mau
menyiapkan/menyediakan tentara untuk kepentingan militer Hindia Belanda. Selain
itu penyebab yang lain dikarenakan masalah “rekrutering” atau ketentuan menjadi
serdadu bagi para pemuda Minahasa untuk dikirim ke Jawa guna menghadapi
perjuangan tentara dari Inggris. Selain permasalahan tersebut maka dipanggilah
dalam jumlah besar, orang-orang yang berasal dari suku-suku pemberani dalam
peperangan, seperti suku Minahasa, suku Madura, dan suku Dayak. Bila yang
datang melaporkan secara suka rela tidak segenap hati/memadai, pemaksaan dilakukan.
Suatu tindakan yang telah mengakibatkan pecahnya pemberontakan rakyat di
Manado/Minahasa. Pada tahun 1928 Prediger dengan pembawaannya yang lemah lembut
menghindari bentrokan dengan penduduk, ia tidak dapat mencegah tindakan petugas
pendaftaran yang tidak bijaksana dan terciptannya cerita yang tidak mengenai
tujuan perekrutan. Ditambah dengan hutang lama yang disebabkan penerimaan
sandang dengan uang muka, hubungan baik dengan pemerintah Hindia Belanda
menjadi rusak sekali.
Jika
dilihat secara kritis makna terjadinya perang Tondano sesungguhnya bukan alasan
rekruitmen, tagihan hutang lama dan tafsiran yang mengada-ada dari sejarawan
kolonial tersebut. Akan tetapi masalahnya terletak pada pelanggaran-pelanggaran
kolonial Belanda terhadap ketentuan ikatan persahabatan Minahasa-Belanda
Verbond 10 Januari 1679. Hal ini menunjukan bahwa secara antropologis orang
Minahasa sudah sejak tempo dulu tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai
budaya (orientasi terhadap kebenaran dan keadilan) yang tidak mengenai kompromi
dengan pelanggaran adat, siapapun pihak yang melakukan pelanggaran adat yang
dimaksud (sei’reen). Bagi orang Minahasa Verbond sudah menjadi bagian dari adat
Minahasa yang menjamin kelanjutan hidup orang Minahasa. Hal ini dianggap oleh
para pemimpin Minahasa merupakan pengingkaran suatu penghinaan yang fanatisme
terhadap kebenaran dan keadilan. Apalagi mereduksi nilai-nilai kepemimpinan
sosial orang Minahasa, dimana posisi kepala walak dikondisikan sedemikian rupa
dalam perubahan perjanjian (Verdrag 10 September 1699/amandemen pasal 9),
sebagai bawahan yang harus tunduk terhadap semua kebijakan kompeni Belanda.
Padahal dalam konteks status peranan, menjadi kepala walak, bukanlah jabatan
yang diberikan atas dasar turunan (ascribed) tetapi menjadi kepala walak
diperoleh secara demokratis/dipilih secara adat
atas dasar kinerja (achieved).
B. Rumusan Masalah:
1.
Mengapa Disebut
Perang Tondano?
2.
Posisi Minahasa
Sebelum Perang Di Tahun 1808-1809?
3.
Bagaimana
Latarbelakang Ekonomi Di Minahasa?
4.
Bagaimana
Rentang Waktu Perang Tondano?
5.
Bagaimana
Terjadinya Perang?
6.
Bagaimana
Suasana Perang Di Minahasa?
C. Tujuan Masalah:
1.
Mengetahui
Perang Tondano
2.
Mengetahui
Posisi Minahasa Sebelum Perang Di Tahun 1808-1809
3.
Mengetahui
Latarbelakang Ekonomi Di Minahasa
4.
Mengetahui
Rentang Waktu Perang Tondano
5.
Mengetahui
Terjadinya Perang
6.
Mengetahui
Suasana Perang Di Minahasa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perang
Tondano
Persepsi
dikalangan tertentu orang Minahasa yang beranggapan bahwa seakan-akan
pelaku-pelaku yang terlibat dalam peristiwa besar Perang Tondano hanya orang
Tondano yang bermukim di Minawanua. Padahal pemakaian istilah Perang Tondano
bukan berarti yang terlibat dalam perang hanya Walak Tondano, akan tetapi
hampir seluruh Walak di Minahasa telah berperan serta menunjukan solidaritasnya
sebagai Tou-Minahasa yang berjuang bersama Walak Tondano melawan Kompeni
Belanda. Perang Tondano sendiri adalah perang patriotik yang besar dari rakyat
Maesa (Minahasa pada umumnya) melawan penjajah Belanda, yang telah berlangsung
secara berulang-ulang dalam kurun waktu satu setengah abad. Perang perlawanan
pertama telah dimulai pada 1 juni 1661, dan berakhir (perang perlawanan
terbesar) pada 14 Januari 1807 sampai 5 Agustus 1809.
Para pemimpin
Perang Tondano selain Tewu, Sarapung, Korengkeng, Lumingkewas, Matulandi
(semuannya berasal dari Tondano-Minawanua), terdapat juga Lonto Kamasi Kepala
Walak Tomohon, dan Ukung Mamahit dari Walak Remboken. Bahkan sebagai
organisator dan atau otak dari perlawanan melawan Kompeni Belanda, selain Tewu
juga Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon yang dicari oleh pihak Kompeni Belanda
untuk ditangkap. Tewu ditangkap menemani Ukung Pangalila (Tondano) dan Ukung
Sumondak (Tompaso) yang sudah sejak awal menjadi penghuni penjara di Benteng
Fort Amsterdam. Mereka ditangkap karena keduannya dengan tegas menentang usaha
dari Residen Schierstein yang hendak mengubah substansi perjanjian/Verbond 10
Januari 1679, seperti yang diakui Jacob Claesz kepada David Van Peterson yang
dinyatakan bahwa orang Minahasa bukan merupakan taklukan/bawahan tetapi yang
berada dalam suatu ikatan persahabatan dengan Kompeni Belanda.
Dengan demikian
perlulah diungkap disini bahwa Perang Tondano secara historis telah berlangsung
sejak tahun 1661 dan puncaknya terjadi pada tahun 1808-1809, yang didasarkan
atas:
1.
Puncak
petualangan Kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di wilayah
Walak Tondano.
2.
Berdasarkan
peristiwa diatas yang diistilahkan sebagai Perang Tondano, merupakan istilah
yang telah membudaya dalam masyarakat Minahasa pada umumnya (Supit 1991).
B. Posisi
Minahasa Sebelum Perang Di Tahun 1808-1809
Minahasa sebelumnya memiliki
dasar kontrak kerja sama dengan VOC dalam apa yang disebut kontrak Persekutuan
Atau Persahabatan atau lebih dikenal dengan Verbond 10 Januari 1679, dengan 10
pasal perjanjian dimana bertuliskan: Perjanjian dan persekutuan yang diadakan
oleh yang terhormat Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge atas nama tuan besar
Gubernur Jenderal Rijckloff Van Goens dan Dewan Hindia yang mewakili Kompeni
Hindia Timur di Oktroij DAN negara persekutuan Belanda pada satu pihak dan
kepala-kepala Walak seluruh Haminte dalam wilayah Manado atau ujung paling
utara Pulau Sulawesi pada pihak lain.
Tetapi dari pihak Minahasa
atas Belanda sangat dapat dilihat lebih banyak harusnya dipenuhi termasuk VOC
sebagai yang dipertuan, sebaliknya dari pihak Belanda hanyalah perlindungan
dari serangan luar ke dalam Minahasa oleh suku-suku lainnya, dimana akhirnya
implementasi dari kebijakan ini tidaklah
berjalan mulus sehingga menimbulkan ketimpangan kerja sama Minahasa-Belanda.
Dalam hal ini VOC baik secara regional, ekonomi dan persekutuan. dan akhirnya
dalam mengatasi hal tersebut 20 tahun kemudian tepatnya pada 10 september 1699
bertuliskan mengapa mereka bersekutu, serta menyatakan bahwa sahabat Kompeni adalah
sahabat rakyat dan demikian dengan sekutu kompeni lain-lain, di darat dan
dilaut, bantu-membantu dan lindung melindungi bila dituntut sampai mati
sekalipun.
Jadi jelaslah bahwa
Minahasa-Belanda telah mengeluarkan sebuah perjanjian persekutuan yang dapat
dikatakan telah menimbang asas-asas kesetaraan dalam persahabatan dan hal
kontrak-kontrak berikutnya tetap diadakan dan ditandatangani oleh Walak-Walak
Minahasa sebagai representative atau perwakilan sebuah wilayah teritori yang
berdaulat yang diakui oleh belanda juga sampai pada kontrak Minahasa-Kerajaan
Inggris Pada 14 September 1810. antara tahun 1699 sampai pecah perang di
Minahasa lebih khusus pada perlawanan Waraney-Waraney atau Ksatria-Ksatria
Minahasa di Tondano pada 1808, ada jarak sekitar 109 tahun atau dapat
diperkirakan 100 tahun setelah Perjanjian atau Kontrak Verdragg 10 september
1699 baru muncul friksi-friksi yang tajam dimana kesimpulan utamannya terletak
pada masalah ekonomi. tetapi sebelumnya dapat dilihat juga dari posisi Kerajaan
Belanda itu sendiri.
C. Latar
belakang Ekonomi Di Minahasa
Sumber makanan/logistik di
Minahasa merupakan alasan untuk menjadikan sebagai daerah koloni. Dikemukakan
oleh Prof Adolf Sinolungan bahwa kaitannya antara sumber makanan beras dengan
upaya Hindia Belanda Timur di Batavia dengan Gubernur Maluku yang seenaknya
memasukkan Minahasa dalam Karisidenan Manado. Pada abad 16
perusahaan-perusahaan dagang Eropa Barat bersaing merebut perdagangan
rempah-rempah di Maluku, diikuti oleh Portugis, Spanyol kemudian Inggris (EIC)
VOC. Mereka datang dengan Armada Dagang
Pelayaran panjang dan lama, konsekuensi logis makanan atau kebutuhan logistik
dianggap penting. Dalam upaya mencari makanan, mereka menemukan Malesung/nama
tua Minahasa dimana pelabuhan Manado sebagai pusat perdagangan beras. waktu itu
benar-benar beras menjadi komoditi pelayaran Armada Dagang pergi pulang
Maluku-Eropa Barat.
Perdagangan beras abad 17
bukan perdagangan antar sub wilayah yang hanya dikuasai Belanda, tetapi antara
Armada Dagang Portugis dan Spanyol, kemudian antara VOC/Belanda dengan EIC
Inggris. VOC/dengan hak oktroi dipandang sebagai upaya pemerintahan Kerajaan
Belanda yang ingin mengganti peran Spanyol yang kalah perang dengan pasukan
Minahasa sehingga terusir dari Minahasa dalam Perang Tasikela 1643-1644. Semua
langsung tak langsung terkait dengan persaingan barter beras dengan Malesung.
Beras amat diperlukan Armada
Dagang dan juga prajurit-prajurit mereka di benteng-benteng lokal. Sebab itu
voc membujuk ukung-ukung merdeka di Malesung untuk membuat persekutuan dan
persahabatan dengan Verbond 10 Januari 1679. Untuk memantapkan
perdagangan/barter beras, VOC meminta tanah untuk loji dan kantor dagang yang
kemudian dijadikan Benteng Fort Amsterdam di Manado. Lama-kelamaan muncul
keinginan untuk memonopoli perdagangan beras dikawasan Minahasa, dibuatlah
suatu kebijakan sepihak yakni berusaha memutar balikan makna perjanjian Atau
Verbond 10 Januari 1679 dengan Verdrag 10 September 1699 Menjadikan Malesung
terjajah. Upaya ini berlanjut sampai upaya sepihak VOC membuat Verdrag 5
Agustus 1790 yang menetapkan Minahasa dalam status terjajah hanya mempertuan
VOC/penjajah.
Terjadilah perubahan di
Eropa dimana Perancis jaman Napoleon menjajah Belanda, waktu itu Perancis
sedang bermusuhan dengan Inggris. GG Daendels perlu 22.000 pemuda untuk
mempertahankan Pulau Jawa (Jl.Anyer-Penarukan) dan minta 2000 pemuda dari
Walak-Walak merdeka di Minahasa, berdasarkan asumsi Minahasa sejak Malesung
dengan Verdrag 1699, dan Verdrag 1790 adalah jajahan VOC/dengan hak oktroi
jajahan Belanda Verdrag yang erat kaitannya dengan barter beras, meniadakan
Verbond 10 Januari 1679. Upaya merekrut pemuda Minahasa sesuai perintah
diktator Deandels juga hendak dipaksa Residen Manado C.Ch Predigger yang
membangkitkan perlawanan Suku Tondano didukung Walak-Walak merdeka di Minahasa
yang menyebabkan perlawanan rakyat Minahasa di Tondano yang dikenal sebagai
Perang Tondano. Tentang Tanah Minahasa yang subur disadari Belanda setelah
lepas dari penguasaan Kaisar Perancis atas negerinya, yang juga kerap teralami
setelah perang kemerdekaan abad 19 di Nusantara yang dimulai di Tondano dalam
puncak Perang Tondano pada 1808-1809.
Kas Belanda kosong, lalu
mencari sumber memperbaiki perekonomiannya di tanah jajahannya. waktu itu
species, seperti cengkih tak populer lagi seperti abad pertengahan pasca Perang
Salib. Komoditi Kopi Dicari Dan Amat Laku Di Pasar Global. Ternyata di Remboken
kopi tumbuh bagus dan buahnya bermutu. Ini menunjukkan tanah Minahasa subur,
karena memang top soilnya endapan vulkanis kaya mineral, cocok dengan tanaman
kopi. aroma mutu dan rasa kopi Minahasa bagus. Maka kopi ditanam massal hampir
diseluruh Minahasa sampai Bolmong. Pemerintahan Belanda memonopoli dan
menopsoni perdagangan komoditi kopi sehingga memperoleh keuntungan amat besar
yang bisa mengatasi masalah perekonomiannya. Setelah komoditi kopi dari
Minahasa adalah kopra, kmd cengkih (cloves) dan di beberapa tempat terutama di
Siauw Palia (Nutmeng).
Jadi kesimpulannya bahwa
kedatangan Belanda ke Minahasa yang menyebabkan Perang Tondano bukan dalam
rangka ingin menguasai perdagangan beras karena beras tidak laku di Eropa, ada
benarnya tetapi beras sangat diperlukan untuk kepentingan Armada Dagang
Perdagangan Eropa Barat sehingga praktis jadi komoditi ekspor jaman Malesung.
D. Rentang
Waktu Perang Tondano
Kedatangan Belanda di
Minahasa pada mulanya disambut gembira oleh penduduk, karena mengharapkan
bantuan dalam menghadapi peperangan dengan Spanyol dan ancaman gangguan
keamanan perampok-perampok dari Minandanao Filipina. Dikisahkan bahwa dalam
negoisasi perjanjian keamanan tanpa adanya negosiasi perjanjian keamanan tanpa
adanya suatu ikatan apapun. Akan tetapi, alasannya yang sesungguhnya kedatangan
Belanda di Minahasa adalah untuk kepentingan kekuasaan dalam memperoleh monopoli
perdagangan dan usaha untuk menjalankan pemerintah/penjajahan.
Sebagai indikasi alasan monopoli dan kekuasaan
pemerintah yang dimaksud diatas, bahwa pada tahun 1657 Belanda mendirikan
benteng di Pelabuhan Wenang/Manado yang diberi nama Nederlandsche Vasticheijt
atau dikenal dengan nama Fort-Amsterdam (Molsbergen 1929) dalam Umboh (1985).
Benteng ini dijadikan pusat pemerintahan pertahanan dan perdagangan Belanda di
Minahasa. Dikatakan bahwa sejak adanya benteng tersebut, Belanda mulai
menguasai perdagangan di Minahasa dan mengharuskan penjualan beras kepada
pedagang-pedagang Belanda, seperti apa yang telah disinggung diatas, cara
pemaksaan ini sama sekali tidak disenangi oleh Walak Tondano, sehingga
menimbulkan kebencian mereka terhadap Belanda.
Implikasinya sejak saat itu
lahirlah kebencian orang Minahasa, khususnya Orang Tondano terhadap Belanda.
Kebencian ini tidak hanya sampai pada tingkat sikap, akan tetapi
dimanifestasikan dalam bentuk perlawanan senjata alias perang yang dimulai
sejak tahun 1661 sampai tahun 1809. Dikemukakan bahwa perang berlangsung selama
empat kali.
E. Jalannya
Perang
1. Perang
pertama (1661-1664)
Perang Tondano pertama
terjadi pada tanggal 1 Juni 1661. Perang ini merupakan kisah heroic yang
dilakukan oleh rakyat yang bermukim di sekitar Danau Tondano, tepatnya
disebelah selatan kota Tondano sekarang ini yang dahulu disebut Minawanua,
melawan pasukan Kolonial Belanda. Boleh dikatakan perang pertama ini merupakan
perang yang luar biasa. Sebab dilihat dari segi militer oleh pihak Belanda
ternyata lawan mereka yang tergolong sebagai rakyat biasa/primitive yang
berumah di atas air dapat menyiapkan infrastruktur perang yang demikian
lengkapnya.
Kurang lebih seribu empat
ratus laskar (termasuk kaum perempuannya) terlibat dalam pertempuran. Ratusan
perahu disiapkan untuk melayani medan perang yang berkecemuka di atas air dan
rawa. Perahu-perahu tempur ini telah dibuat sedemikian rupa, sehingga dengan
ditumpangi empat sampai lima orang dengan peralatan perangnya, dapat bergerak
di atas air maupun di atas rumput-rumput rawa dengan cepat dan gesit. Lamanya
pertempuran berlangsung selama beberapa bulan dan telah menimbulkan korban jiwa
di kedua belah pihak. Beberapa pahlawan yang terlibat langsung dalam perang
Tondano pertama selain berasal dari Tondano seperti, Kawengian, Wengkang,
Gerungan, Nelwan, Tawaluyan dan Rumambi. Juga turut serta pahlawan dari
Remboken, seperti Kentel, Tellew, Tarumetor, dan Wangko dari Kakas. Pada suatu
ketika ekspedisi Simon Cos dengan bantuan sementara pemimpin rakyat Maesa yang
telah menyeleweng, telah dapat mendesak untuk menghentikan peperangan ini
2. Perang
Kedua (1681-1682)
Singkatnya latar belakang
terjadinya perang kedua ini, ada hubungannya dengan perlakuan semena-mena
Belanda demi kepentingannya sendiri atas makna Perjanjian 10 Januari 1679 yang
disebut oleh N.Graaland (1898) dalam Umboh (1985) sebagai kunci kontrak besar
persekutuan persahabatan antara Minahasa dan Belanda yang ditandatangani oleh
Robertus Padttbrugge dari pihak Belanda, dan dari pihak Minahasa ditandatangani
oleh Maondi (Mandey), Capitaine Pacat (Paat), Soepit (Supit) dan Pedro Rantij
(Ranti).
Disebut Perang Tondano oleh
karena Walak Tondano dalam menghadapi kehadiran kaum colonial Belanda,
cenderung menunjukan sikap antipasti maupun ketidakpatuhan atas eksistensi
kompeni Belanda, maka konsekuensinya kawasan pemukiman Walak Tondano tepatnya
di Minawanua dijadikan sasaran penyerbuan pasukan Belanda dan antek-anteknya.
Bagi kompeni Belanda kawasan Minawanua yang disebut oleh Boven Tondano (tempat
tinggal orang Tondano), merupakan kawasan yang dijadikan tempat berkumpul para
ekstrimis (Pangalila).
3. Perang
tondano ketiga (1707-1711)
Seperti halnya yang terjadi
pada perang pertama di atas, yakni perlakuan semena-mena penjajah Belanda
terhadap seluruh Walak di Minahasa pada umumnya, dan khususnya Walak Tondano
yang tidak tahan atas penderitaan yang berat akibat kekejaman bangsa Belanda
tersebut. Terutama mengenai Verdrag 10 September 1699, dianggap merupakan
politik tipu daya terhadap walak-walak Minahasa. Sebab isi perjanjian tersebut
bukan untuk meringankan beban penduduk, akan tetapi bertujuan untuk mengikat
para kepala walak agar tunduk kepada kekuasaan Belanda (Wuntu 1963 dan Umboh
1985). Hal-hal inilah yang mendorong orang-orang Tondano bersatu untuk
mengadakan perlawanan terhadap Belanda, dengan semboyan: “lebih baik menghadapi
perampok-perampok Mindanao daripada dikunjungi Belanda dan antek-anteknya yang
harus dengan terpaksa menyerahkan hasil pertanian (padi) kepada mereka”.
Berbeda dengan perang pertama dan kedua yang terjadi secara frontal, sedangkan
pada perang ketiga ini berlangsung dengan menggunakan taktik gerilyanya.
4. Perang
Tondano Keempat (1807-1809)
Singkatnya perang terakhir
ini terjadi, berawal dari aksi melarang utusan Hindia Belanda dari aksi
melarang utusan Hindia Belanda masuk ke wilayah Tondano karena dianggap oleh
para Tona’as/pemimpin-pemimpin sekitar Danau Tondano bahwa Residen G.F.Durr
telah mengubah janji kosong terhadap rakyat Minahasa. Pada umumnya dan
khususnya orang Tondano (Perjanjian 10 Januari 1679).
Musyawarah Minawanua
menganggap hasil musyawarah di Airmadidi berhimpun para pimpinan Minahasa
(kepala walak) yang dilaksanakan di Minawanua, dalam suatu forum masyarakat
yang disebut musyawarah Minawanua. Jalanya musyawarah, sempat terjadi perbedaan
pendapat dan pendirian dalam walak Tondano (Toulimambot-Toliang). Sehingga
suasana pembukaan musyawarah terjadi ketegangan, seperti diketahui bahwa kepala
walak Korengkeng dan beberapa ukung Taulimambot dan Touliang telah menyatakan
bahwa mereka tidak mau hadir dalam musyawarah. Apa alas an sehingga ukung
Korengkeng tidak mau hadir? Sangat disayangkan tidak dijelaskan oleh Supit
(1991). Karena itu, pada tingkat wacana ada 2 asumsi yang dapat diajukan yaitu:
1.
Adanya
kesalingcurigaan satu dengan yang lain, dimana gejalanya sudah muncul pada
waktu musyawarah di Airmadidi. Lonto dicurigai oleh Korengkeng pro-Belanda
karena pada waktu musyawarah di Airmadidi seakan-akan Lonto menyetujui kemauan
residen Predigger untuk mengganti Verbond 10 Januari 1679.
2.
Ketidakmunculan
Korengkeng dalam pembukaan musyawarah, disengaja dilakukan (strategis) untuk
mengelabui utusan dari pihak Belanda (Ukung Maramis) yang ditugaskan oleh
residen Predigger untuk mengamati peranan kepala walak Toulimambot, Korengkeng,
dan kepala Touling Sarapung dalam melaksanakan musyawarah sekaligus mengamati
solidaritas para walak dalam menyikapi hasil musyawarah di Airmadidi.
Sementara ukung Sarapung, tanpa suatu pernyataan tidak
pula kelihatan pada hari pembukaan, sehingga dikira Ukung senior Sarapung
bermaksud memboikot jalanya musyawarah. Ternyata setelah diketahui Ukung
Sarapung berhalangan hadir karena disamping usiannya yang sudah lanjut, jugab
mengalami gangguan kesehatan. Akhirnya musyawarah dapat dikendalikan oleh Ukung
Tewu selain sebagai Teterusan (Panglima Perang) yang menguasai lahan pertanian
yang sangat luas (Tana’I Tewu), Matulandi (saudara dari Ukung Sarapung) dan
Lumingkewas (ketiganya sari Minawanua- Tondano), serta Lonto (Kepala Walak
Tomohon), dan Mamait (Kepala Walak Remboken). Para pemimpin Minahasa yang hadir
dalam musyawarah antara lain, dari Tondano-Toliang, yakni Tewu (pemilik Benteng
Moraya), Sarapung, Walintukan, Korengkeng, Rumapar, Wuisan, Lumingkewas,
Sepang, Dari Kakas terdiri dari L. Supit, dan Kalalo , dari Remboken terdiri
atas Mamaitdan Tendean, sedangkan dari Tonsea diwakili oleh Pangemanan,
Lengkong dan Ombu yang memihak Tondano, sedangkan mewakili Tombulu adalah
Lonto. Dan juga mendapat dukungan dari beberapa kepala walak Minahasa lainnya seperti,
Pantouw dari Saroinsong, Koyongin dari Pasan, Walewangko dari Sonder, Tuyu dari
Kewangkoan, Sondakh dari Tompaso, Iroth dari Langowan, Runtuwene dari
Tombasian, Tumbelaka dari Rumoong, Watak dari Ratahan, Rugian dari Tonsawang
dan Mokolensang dari Ponosakan.
Dengan berlandaskan semangat Mapalus (tolong
menolong), Maesa (bersatu), dan Matuari (turunan Toar-Lumimu’ut), akhir
musyawarah mengahasilkan keputusan, menyatakan tekad bahwa apabila pihak
kompeni tidak menghentikan pelanggaran terhadap Verbond 10 Januari 1679, dan
pemaksaan yang bertentangan dengan adat, maka seluruh Walak Minahasa yang hadir
dalam musyawarah memutuskan hubungan dan melawan Kompeni Belanda yang berbentuk
perlawanan sebagai berikut:
1.
Penghentian
pemasokan dan perdagangan beras,
2.
Tidak membayar
hutang sandang,
3.
Tidak
mengizinkan seorang pemuda pun untuk menjadi serdadu kompeni,
4.
Tuntutan
pemulangan serdadu-serdadu dari luar Minahasa,
5.
Bila residen
Predigger mau mengadakan penekanan, maka Minahasa terpaksa memutuskan ikatan
persahabatan dengan Belanda, dan mengadakan perlawanan terbuka terhadap tiap
bentuk pemaksaan.
Musyawarah
Pinawetengan, hasil musyawarah Minawanua, antara lain diputuskan untuk
melanjutkan musyawarah di Pinawetengan. Bagi Walak Tondano usulan ini sangat
strategis dalam upaya untuk memperkuat ikatanse-Maesa, dimana ditenggarai masih
ada sejumlah walak yang belum dilibatkan dalam musyawarah Minawanua. Kecuali
itu, disinyalir beberapa walak lainnya masih diragukan komitmennya untuk
melakukan perlawanan terhadap kompeni. Dengan kata lain, masih ada walak yang
masih bersikap kooperatif dengan Belanda. Selang beberapa hari kemudian
berangkatlah utusan-utusan walak Tondano ke Pinawetengan, bertemu dengan
walak-walak lainnya, antara lain, Kakas, Romboken, Langowan, Tompaso, Sonder,
Langowan, Pasan, Ratahan, Ponosakan, Tounsawang, Tomohon, Kakaskasen,
Tombariri, Rumoong, Tombasian, dan Amurang. Sementara itu wakil dari Tonsea
sulit untuk bergabung karena begitu kerasnya tekanan dari pihak Belanda,apalagi
sejumlah pimpinan disana sudah diperalat sebagai kaki tangan Belanda, kecuali
walak-walak Likupang, Kema dan Talawaan dengan cara sembunyi-sembunyi mengutus
waranei-waraneinya untuk mengikuti musyawarah di Pinawetengan tersebut.
Jalannya
musyawarah tidak berlangsung lama, karena isu-isu yang dibahas sudah dirumuskan
terlebih dahulu. Terutama mengenai pembagian tugas dalam upaya untuk
menyediakan bahan-bahan untuk memperkuat benteng dan persiapan perang. Seperti
menyediakan balok-balok kayu, bambu, logistic (bahan makanan dan obat-obatan),
persenjataan, amunisi dan meriam. Sementara itu menentukan strategi organisasi
perang, siapa yang diandalkan berperan di medan tempur, siapa yang dipercaya
bias melakukan penyusupan (mata-mata). Dalam pembicaraan juga cara bagaimana
menggunakan sandi agar orang-orang Minahasa yang bergabung dengan pasukan
Belanda bias menghindar dari terjangan peluru pasukan Minahasa, sandi yang
dimaksud adalah Rumungku se Maesa. Disamping itu, para pemimpin musyawarah
memanfaatkan waktu untuk mendengar keluhan dari walak-walak lainnya yang
wilayahnya dekat dengan pos-pos keamanan Belanda, seiring mendapatkan tekanan
bahkan ancaman terror. Keluhan-keluhan ini akhirnya dimasukkan menjadi bagian
dari rumusan kesepakatan hasil musyawarah antara lain:
1.
Bahwa
walak-walak yang ada disekitar benteng, terutama walak Tondano betapapun
akibatnya akan tetap meneruskan perlawanan/peperangan.
2.
Kepada
walak-walak lain, oleh karena sesuatu dan hal lain tidak sanggup lagi
meneruskan perlawanan/peperangan, dihimbau untuk tetap mengirim bantuan-bantuan
mesiu, terutama bahan makanan.
3.
Khususnya kepada
walak lainnya yang memgang sama sekali tidak bias melanjutkan peperangan dan
mengirim bantuan, ditekankan agar jangan sampai menjadi kaki tangan Belanda
(berhianat).
Hasil rumusan musyawarah ini diputuskan secara bulat
untuk dilaksanakan secara murni dan konsekuen, bagi yang tidak melaksanakan
akan mendapat sangsi secara adat (Tauli 1961; Wuntu 1963).
F. Suasana
Perang
Oleh karena pihak Belanda tidak bergeming
menerima keputusan hasil musyawarah tersebut, maka konsekuensinya terjadilah
pertempuran atau perang modern pertama di Indonesia dimana pihak Hindia Belanda
mendapat perlawanan sengit dari waranei-waranei dan wulan-wulan Minahasa yang
mahir menggunakan senjata meriam buatan Spanyol, meriam bambu (lantaka),
senapan api, dan senjata tajam lainnya. Berdasarkan catatan sejarah,
pihak pasukan Belanda sempat melakukan tiga kali serangan (lihat Mangindaan
1871; Mambu 1986) dalam Wenas (2007), singkatnya adalah sebagai berikut:
1.
Serangan pertama pasukan Belanda
dilakukan pada tanggal 1 September 1808, terjadi tembak menembak barisan
senapan dari kedua pihak.
2.
Serangan kedua, terjadi pada tanggal
6 Oktober, pihak Belanda berhasil merebut negeri Tataaran (5 Km dari Benteng
Moraya). Pada serangan kedua ini, pihak Belanda mengajak berunding, dan
akhirnya taktik berunding ini bermaksud untuk menangkap Tewu, Lonto,
Lumingkewas dan Mamahit.
3.
Serangan ketiga, berlangsung
pada tanggal 23 Oktober 1808, pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari
pasukan Minahasa terutama dalam menghadapi serangan dari arah danau (Benteng
Paapal) ditangani oleh pasukan katak yang dikenal sebagai ‘hantu-hantu danau’.
Demikian juga dalam menghadapi serangan dari arah Koya (Benteng
Moraya), tidak jarang pasukan atau waranei-waranei Minawanua menyerang balik
sampai ke pertahanan pasukan Belanda di Koya, bahkan sempat melukai dan
membunuh beberapa perwira Belanda, termasuk melukai kepala residen Predigger di
Tataaran yang ditembak oleh pasukan berani mati Rumapar.
Mengahadapi perlawanan dari waranei-waranei (milisi) Minawanua
yang demikian sengit itu, akhirnya pada bulan Januari 1809, serangan ketiga
dilanjutkan oleh pasukan Belanda dari arah barat dan utara Benteng
Moraya. Terjadilah pertempuran sengit, pasukan arteleri Minahasa (meriam 9 pond
buatan Spanyol) berhasil memporakporandakan pasukan Belanda di kampung
Koya. Karena serangan ini masih gagal, maka pada tanggal 9 April 1809
pasukan Belanda menyerang dari arah danau dengan menggunakan perahu kora-kora
yang didatangkan dari Tanawangko. Serangan dari arah danau disambut oleh
pasukan katak Minahasa yang menyerang dari bawah air. Maka terjadilah serangan
kombinasi (darat dan air) dari pasukan Belanda. Oleh karena serangan demi
serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda selalu mengalami kegagalan, maka
pada bulan Juni 1809 melalui komando Kapten Winter (veteran Perang Napoleon),
pasukan kompeni Belanda dan antek-anteknya diperintahkan untuk mengatur
strategi penyerangan dengan cara mengepung seluruh kawasan benteng pertahahan
pasukan Minahasa, dan memutuskan semua jalur bantuan logistik dan
senjata/amunisi yang dibutuhkan oleh waranei-waranei Walak Tondano dan
Walak-Walak dari luar Tondano. Hal ini sudah tentu mempengaruhi moral sejumlah
Walak dari luar Tondano yang kemudian mereka satu demi satu meninggalkan arena
pertempuran kembali ke tempat asalnya masing-masing. Sebagian yang
bertahan siap mati dengan waranei-waranei Minawanua-Tondano. Dikemukakan oleh
para waranei Minawanua yang tetap bertahan menghadapi gempuran pasukan kompeni
Belanda dan antek-anteknya itu, “kami akan menyerah apabila air sungai dan
danau habis”, artinya kami akan bertempur sampai titik darah penghabisan.
Pasukan kompeni
Belanda yang sudah mengetahui kelemahan pasukan Minahasa (kelaparan, kehabisan
amunisi, dan berkurangnya personil pasukan), dengan tanpa balas kasihan, dan
tanpa pandang bulu membantai seluruh penghuni pemukiman Minawanua, termasuk
hewan piaraan, kemudian melululatahkan benteng-benteng pertahanan dan membunuh
semua waranei yang berusaha mempertahankan benteng dari musuh. Dikisahkan,
bahwa hampir seluruh permukaan air danau dan sungai teberen Tondano berwarna
merah (genangan darah dari pasukan-pasukan Minahasa yang menjadi korban
perang). Sejak saat itu, benteng yang menghadap kampung Koya di sebut ’Benteng
Moraya’, yang berarti di mana-mana (sungai dan danau) terdapat genangan
darah dan menimbulkan bau amis, seperti permadani berwarna merah. Sedangkan
benteng yang menghadap sebelah barat danau disebut ’Benteng Papal’, yang
berarti ’tiang-tiang’ yang tertanam kokoh dipasang secara miring menghadap
danau (lihat Sendoh 1985).
Kapten Winter yang memimpin penyerbuan terakhir ke Benteng
Moraya, sempat membuka topi perwiranya (tanda rasa hormatnya) di hadapan
mayat-mayat pahlawan orang Tondano yang bertahan di benteng Moraya, sambil
berkata, “mereka yang korban ini adalah patriot-patriot
sejati” (lihat laporan Vergadering Raad van
Politie di Ternate tanggal 30 Desember 1808) dalam Mambu (1986). Diakui atau
tidak, bahwa keberanian Orang Minahasa melawan kompani Belanda yang dilakukan
melalui perang, seperti apa yang sudah disinggung di atas, merupakan perang
modern pertama di Indonesia, di mana pihak kompani Belanda mendapat perlawanan
sengit penduduk pribumi Minahasa dengan menggunakan senjata api (meriam dan
senapan) serta senjata tradisional (tombak, parang dan ranjau alam, yakni
tumbuhan rawa yang berduri).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Puncak
petualangan Kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di wilayah
Walak Tondano.
2.
Hak oktroi hanya boleh dimiliki oleh
kompeni tidak boelh ada pemasokan beras ke negara lain kecuali hanya untuk
kompeni saja sehingga kebutuhan
logistik dianggap penting karena beras
menjadi komoditi pelayaran Armada Dagang pergi pulang Maluku-Eropa Barat.
3.
Asal mula Minahasa
mereka menemukan nama tersebut pada saat mereka mencari makanan sehingga
Malesung/nama tua disebut sebagai Minahasa. Perlawan para walak Minahasa
terjadi sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1661-1664, 1681-1682, 1707-1711, dan 1807-1809.
DAFTAR
PUSTAKA
Referensi
- Kusen, Albert W.S. 2007. Makna
Minawanua: Refleksi Atas Perjuangan Orang Minahasa-Tondano. Dipresentasi
dalam Forum Seminar ’Kembalikan Minawanua’ ku, di Tondano, 23 Desember.
- ------------2009. Antropologi Minahasa: Identitas dan
Revitalisasi. Waraney Connections. Buku Teks 375 hlm (belum diterbitkan).
- Mambu, Edy, 1986. Jalannya Perang Tondano.
Jakarta: Yayasan Kebudayaan Minahasa.
- Sendoh, Joutje, 1985. Perang Minahasa di Tondano.
Dipresentasi daslam Lokakarya ’Perang Tondano’, di Tondano, 22 Deswember
1986.
- Supit, Bert, 1991. Sejarah Perang Tondano (Perang
Minahasa di Tondano). Jakarta: Yayasan Lembaga Penelitian Sejarah dan
Masyarakat.
- ---------------2007. Pengantar Diskusi ‘Strategi
Budaya Orang Minahasa Demi
- Pakalawiren dan Pakatuan’.
- Taulu, H.M.1961. Perang Tondano. Minahasa.
- Umboh, Sam A.H.1985. Perang Tondano.
Skripsi Jur. Sejarah Fakultas Sastra Unsrat.
- Watuseke, Frans.S. 1968. Sedjarah Minahasa.
Manado: Yayasan Minahasa Watuseke-Politon.
- Weichhart, Gabriele, 2004. Identitas Minahasa:
Sebuah Praktek Kuliner. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia.
- Wenas, Jessy, 2007 Sejarah & Kebudayaan Minahasa.
Jakarta: Institut Seni Budaya Sulawesi Utara.
- Wuntu, Giroth, 1962 Perang Tondano. Jakarta.
Sumber lain:
SUBSTANSI PERANG MINAHASA MELAWAN KEBIJAKAN RADIKAL
PERANCIS, YANG LAZIM DIKENAL PERANG TONDANO PADA 1808-1809 A.D: Dirangkum dari
berbagai Sumber oleh: Erwin Saderac Pioh 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar