Judul Buku : TAN MALAKA DAN GERAKAN KIRI MINANGKABAU
Penerbit :
Yogyakarta, Penerbit Ombak 2007
Tebal :
xxii + 223 Hal
TAN
MALAKA DAN GERAKAN KIRI MINANGKABAU
Nama
asli Tan Malaka adalah Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama seni bangsawan
yang ia dapatkan dari garis ibunya. Nama lengkapnya adalah Ibrahim Gelar Datuk
Sutan Malaka. Tanggal kelahiran tidak dapat dipastika, dan tempat kelahirannya
tidak dapat dipastikan dan tempat kelahirannya sendiri sekarang dikenal sebagai
Nagari. Pandan Gadang, Suliki Lima Puluh Kota , Sumatera Barat. Ayahnya bernama
HM.Rasad , seorang karyawan petani dan Rangkayo Sinah, Putri orang yang
disegani di desa. Tan Malak mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat.
Pada tahun 1908 ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de
Kock. Menurut gurunnya GH Horensma, Malaka , meskipun kadang-kadang tidak
patuh, adalah murid yang pintar. di sekolah ini ia menikmati pelajaran bahasa
belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah
Belanda. Ia juga adalah seorang pemain sepakbola yang hebat. Ia lulus dari
sekolah tahun 1913. Setelah lulus ia ditawari gelar Datuk dan seorang gadis
untuk menjadi tunangannya namun ia hanya menerima gelar datuk. Ia menerima
gelar tersebut dalam upacara tradisional tahun 1913. Meskipun diangkat menjadi
datuk, bulan Oktober 1913 ia meninggalkan desannya untuk belajar Rijksweekschool (sekolah
pendidikan guru pemerintah) yang di danai oleh para engku dari desannya.
Sesampainnya di Belanda , Malaka mengalami kejutan budaya, pada 1915 ia
menderita pleuritis. Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai
meningkat setelah membaca de Fransche Revolutie, yang diberikan kepadannya
sebelum keberangkatan ke Belanda oleh Horensma. Setelah revolusi Russia oktober
1917 ia semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme. Membaca buku karya Karl
Mark, Friedrich Eangels dan Vladamir Lenin. Friedrich Nietzsche salah satu
panutannya saat itulah ia membenci budaya masyarakat Jerman dan Amerika. Karena
banyaknya pengetahuan yang di dapat tentang Jerman . dia kemudian mendaftar ke
militer Jerman, bagaimanapun, ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak
menerima orang asing . saat itulah ia bertemu Henk Sneevliet salah satu pendiri
Indische Social dari Democratische Vereeninging (ISDV) , partai komunis
indonesia ia juga tertarik bergabung dengan Social Democratische-Onderwijzers
Vereeninging (Asosiasi Demokrat Sosial Guru). Pada bulan november1919, ia lulus
dan menerima ijazahnnya yang disebut Hulpactie. Menurut sang ayah selama Tan
Malaka di Belanda, mereka berkomunikasi melalui suatu sarana mistik disebut
tarekat.
Setelah
lulus ia kembali ke desannya ia kemudian menerima tawaran Dr. C.W Jansen untuk
mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa Deli,
Sumatera Utara, ia tiba disana bulan desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak
itu. Pada januari 1920 selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa
propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor. Selama masa
ini, dia belajar dari kemerosotan dan keterbelakangaan hidup kaum pribumi di
Sumatera. Ia juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk
media massa. Salah satu karya awalnnya “Tanah Orang Miskin” yang menceritakan
perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang
dimuat di Het Vrije Woord edisi maret 1920. Ia menulis mengenai penderitaan
para kuli kebun teh di sumatera post. Tan Malak menjadi calon anggota Volksread
dalam pemilihan tahun 1920, mewakili kaum kiri. Ia memutuskan untuk
mengundurkan diri pada 23 februari 1921.
Sampul
majalah tempo dengan Tan Malaka, dengan julukan Patjar Merah Indonesia, Tan
Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan.
Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis
politik yang memperjuangkan kemerdekaan indonesia, dari kolonialisme Belanda.
Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari indonesia dan menjadi
buruan polisi rahasia internasional. Salah satu roman Patjar Merah yang
terkenal adalah roman karangan Mat Mona yang berjudul Spionage-Dienst. Nama
Patjar Merah sendiri berasal dari karya Baroneese Orczy yang berjudul Scarlet
Pimpernal, yang berkisah tentang seorang pahlawan Revolusi Perancis. Dalam
cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI
lainnya yaitu : musso (Sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Aliminsky), Semaun
(Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaludin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe
Beng Kiat). Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di
Indonesia, terutama di Sumatera. Tiga buku pertama ditulis oleh Matu Mona,
sementara yang keempat dan kelima ditulis oleh Yusdja. Spionnage – Dienst
(1938), Rol Patjar Merah Indonesia (1938), Panggilan Tanah Air (1940). Moetiara
Berlompoer : Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940), Patjar Merah Kembali
Ke Tanah Air (1940). Sebenarnya Tan Malaka menginginkan hoofdacte, yang
statusnya setingkat lebih tinggi dari hulpactie. Meskipun begitu, kesehatannya
yang buruk membuatnnya hanya bisa mendapat ijazah.
Kaum
pergerakan di Sumatera Barat Hubungannya dengan Tan Malaka dengan kaum
pergerakan kiri minangkabau dapat disebutkan sedikit, kecuali segelintir kaum
pergerakan Sumatera Barat menemui Tan Malaka di Singapura dan Bangkok. Tercatat
selama masa pendidikannya di Negeri Belanda sampai masa perjuangannya di Eropa
dan Asia, Tan Malaka hanya dua kali mampir di kampung ranah minang. Beberapa
kaum pergerakan kiri membina hubungan pribadi dan ideologis yang disebut
seperti Djamaludin Tamin, Arif Fadillah, Haji Datuk Batuah, Natar Zainudin,
Muchtar Lubis, Kandur Sutan Rangkayo Basa, Chatib Sulaiman, Sutan Said Ali dan
lainnya. Djamaludin Djamil mendirikan sebuah partai yang bernama PARI (Partai
Rakyat Indonesia) dan singapura bersama Lasykar Rakyat di Batavia dan Tanah
Jawa adalah Djamaludin Tamin. Tamin pernah dibuang ke Digul dan keluar 1946
dalam keadaan sakit dan terpogoh-pogoh diusia 57 tahun di jalan Tangkuban
Perahu, Jakarta ia menuliskan buku peringatan sewindu kematian Tan Malaka
(1957). Ia menyamakan kematian “Bapak Murba Phillipina” Andrew Bonifacio dengan
Tan Malaka. Dengan perasaan pahit bagai empedu, dengan hati yang pedih bagai
disayat-sayat sembilu, demikian kirannya perasaan dan ratap tangis jiwa tiap
rakyat Murba Indonesia yang mengenal dan mencintai perjuangan hidup Tan Malaka
yang suci murni. Ia tidak akan beristirahat, tetapi akan terus berjuang untuk
indonesia merdeka. Ia akan meneruskan perjalanan ke Timur jauh dan dari situ
berhubungan dengan pergerakan kemerdekaan di seluruh Asia. Di Moskow dimana
berlaku diktaktor Stalin, ia takkan bisa hidup. Ia tidak mempunyai tulang
punggung yang mudah membungkuk, ia akan tunduk kepada prinsip yang dimufakati
bersama, tetapi tidak bisa dan tidak biasa menundukan diri kepada orang
seorang, pada pertukaran pikiran itu terbentang di mataku, bahwa pada suatu
waktu Tan Malaka yang lurus tulang punggung keyakinannya akan bertentangan
dengan Stalin, mungkin kelanjutannya dikeluarkan dari organisasi komunisme yang
dikuasai oleh Stelin. Baik juga apabila ia menjauhi Stelin dan pergi ke Timur
jauh. Tulisan Hatta dalam suasana dan iklim politik yang berbeda dengan front
rakyatnnya melalui Soekarni meminta Hatta agar menemui semua yang kusut antara
pemerintah dan barisan Tan Malaka dapat diatasi yang ditulis Hatta jika aku
tidak menjadi wakil presiden, tentu aku menemui dia, sebab dia lebih tua dari
aku dan lebih lama pula dalam perjuangan. Tetapi dalam keadaan sekarang aku
harus tunduk pada protokol. Kemana aku pergi ke luar kota harus dikawal
petugas. Sebab sebaiknya Tan Malaka datang menemui aku, keselamatannya akan
dijamin, kepadannya akan diberikan safe conduct, ia pun bebas bicara Pada 27
Juni 1946, perdana menteri Sjahrir dan seminggu kemudian menteri pertahanan
Amir Sjarifuddin diculik oleh kelompok Persatuan Perjuangan Di Yogya, jika saya
tiadaberdaya lagi maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang
yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka . . .(Dalam rencana
surat wasiat 1945, tetapi kemudian diubah oleh Drs. Moh. Hatta yang meminta
turut menandatangani dengan menambah nama-nama beberapa orang lainnya). Kahin
(2005:169) sedikit berbeda menulis tentang pertemuan dua kali antara Tan Malaka
dan Sukarno di bulan september 1945 yang menghasilkan “surat wasiat” itu, bahwa
kepemimpinan bukan diserahkan kepada Tan Malaka seorang, tetapi “kepemimpinan
revolusi akan dilanjutkan oleh Tan Malaka, Sjahrir dan dua pemimpin lain
seandainnya Sukarno dan Hatta tidak dapat menjalankan pemerintahan” dua orang lain itu adalah Wongosonegoro dan
Iwa Kusuma Smantri. Tidak diragukan bahwa Ratu kita adalah bijaksana, semakin
lama semakin tambah kesadaran orang, baik di Nederland, maupun Hindia, bahwa
pemerintah sendiri adalah perlu . lebih lama lebih dirasakan, bahwa tidak patut
lagi Hindia diperintah oleh Nederland, seperti tuan tanah mungurus
persil-persilnya. Sebagai seseorang internasionalisme Tan Malaka tidak
mengemukakan alasan untuk permohonannya rasa rindu kepada tanah air dan
keluarga, tetapi hanya penyakitnnya. Sebab apakah kawan-kawan di Eropa
khususnya di Rusia, melalaikan dirinya sedemikian rupa sehingga ia harus memohon
pengampunan ? ini memberi alasan untuk menimbulkan dgaan bahwa gerakan komunis
sudah mulai kendur, betapapun gerakan itu dipuja-puja PKI disini.
Buku
ini semula ditulis M. Yamin dalam bentuk brosur tahun 1945 Kahin (2005:168) dan
kemudian dibukukan tahun 1946 oleh penerbit Bapena. Yamin mengisahkan kehebatan
Tan Malaka di pantai Barat pasifik sampai ke Asia Tenggara dan di tanah air
sebagai kisah Seribu Satu Malam. Bersama Chaerul Saleh dan Tan Malaka, Yamin
pernah ditangkap pemerintah PM Sjahrir (1946) karena Tan Malaka dengan
persatuan perjuangannya menekankan pemerintah agar tidak berunding dengan
Belanda. Persindo (Pemuda Sosialis Indonesia) adalah organ dari partai sosialis
yang merupakan bagian dari massa pendukung Sutan Sjahrir ketika konflik antar Layskar
Rakyat Persatuan Perjuangan (Tan Malaka) dengan pemerintahan PM Sjahrir (1946),
persindo bergabung dalam front Demokrasi Rakyat (FDR) bersama PKI, Partai
Buruh, Partai sosialisasi melawan massa Tan Malaka di Jawa Tengah, pemimpin
persindo pada waktu itu adalah DN Aidit yang kemudian menjadi ketua CC PKI.
Rosihan tidak menyebut sumber dari jawaban Sjahrir tersebut. Wartawan Rosihan
tidaklah ikut dalam pertemuan kedua tokoh itu. Besar kemungkinan jawaban ini
diperoleh dari Sjahrir karena Rosihan dekat dengan Sjahrir. Tan Malaka
menguraikan supaya dalam menghadapi perjuangan kita jangan hanya berfikir
menurut logika dan analogi saja, tetapi secara revolusioner dialektika, yaitu
menggunakan segala kesempatan menurut waktu, tempat dan keadaan. Hamka sendiri
sebenarnya anak muda pada zamannya yang melakukan “pemberontakan” terhadap adat
lama pusaka usang, yang dapat dilihat dari berbagai sastranya seperti
tenggelamnya kapal van der wijk, merantau ke deli, dan di bawah lindungan
ka’bah. Hamka adalah tipe orang yang kecewa karena pandangan ayahnya bahwa
haram hukmnya manakala perempuan berpidato di depan laki-laki ketika menjelang
pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi 1930. Menurut sang ayah,
perempuan berpidato di depan laki-laki dapat mendatangkan fitnah serta seluruh
badan wanita itu adalah aurat. Namun pandangan tersebut dapat dicari jalan
keluar melalui keputusan Ulama yang hadir dalam Mukhtamar itu dengan
menyatakanya sebagai ‘makruh’ bukan ‘haram’. Tan Malaka ‘’mencemooh’’ Sukarno
dalam tulisannya yang menceritakan ketika ia usai mendengar Sukarno berpidato
di (lapangan) Kebun inatang, Jakarta, pada masa pendudukan Jepang Tan Malaka
mencatat pidato Sukarno, ‘’maka yang mengenai dasar politiknya Banteng Besar
Indonesia berbunyi lebih kurang, kalau kalau Liong Barong Sai dan Tiongkok ,
Gajah Putih dari Muangthai Merak dari Birma, Lembu Nandi dari India, Sphink
dari Mesir dapat bersatu dengan Banteng Indonesia dengan disinari oleh matahari
Dai Nippon, maka dunia imperialisme hancur lebur, persepsi individual tentang
seorang “flamboyan” Skarno dari seorang Tan Malaka memang akan tajam.
Perjuangan
Minangkabau di Malaysia dan Singapura bahwa syair dari lag pejuang Indonesia di
kedua negeri, semalam di malaya (oleh Bimbo diubah) Semalam DiMalaysia mengikut
judul film kerja sama Malaysia dan Indonesia tahun 1976 adalah lagu sepanjang
masa, tentang tempat berdirinya PKM, terdapat perbedaan dari beberapa pakar
Yong menyebut berdiri di Johor sedangkan Hanrahan menyebut Singapura, tetapi
sebuah buku 50 Tahun Parti Komunis Malaya (1981) menyebutnya di Kuala Pilah,
Negeri Sembilan. Sutan perpatih tidak
disebut Aundrey Kahin dalam buku
Pemberontakan ke Integritas , sebagai tokoh pergerakan kiri dari Sumatera
Barat, boleh jadi nama tersebut tidak muncul jika dipakai sebagai nama samaran
di Semenanjung Malaya dan munculnya nama ini dalam sejarah pergerakan mengingat
kita kepada Tan Malaka yang memakai nama Elias Fuentes dengan nama dan berbagai
cara ia menyamar dan menyebarkan ideologi.sebelum Sukarno jatuh pada masa
konfrontasi Indonesia, Malaysia, Ibrahim Yacoob, Shamsiah Fakeh, dr.
Burhanuddin al Helmy, A.Samad Ismail wartawan Utusan Melayu dan beberapa
kawannya berada di Indonesia atas ajakan Sukarno. Ibrahim Yacoob dan kawanya
banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalis Sukarno. Ia adalah yang menemui
Sukarno di Singapura, dan ingin mempersatukan Malaya dalam Indonesia Raya.
Abdullah Kamil terakhir bertugas di Deplu RI dan menjadi besan mantan Presiden
Indonesia Soeharto dan anak Bambang Trihatmodjo. Bersama A. Samad Ismail ia
bekerja di Berita Malai, Singapura dan pendudukan Jepang kecuali Abdullah
Kamil, lima orang Minangkabau pernah ditangkap Inggris bersama 150 orang
lainnya dan dipenjarakan di Kuala Lumpur dan lalu dipindahkan ke penjara
Changi, Singapura. Pada perjalanan ke Saigon 8 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta
mampir di Singapura, mereka disambut KMM dengan bendera Merah Putih sebagai
pernyataan bahwa Tanah Melayu adalah sebagian dari Indonesia Raya. Lalu dalam,
perjalanan kembali ke Jakarta, Sukarno Hatta berunding dengan kelompok Ibrahim
Yacoob di Taiping, 13 Agustus, salah satu kesepakatan ialah Proklamasi
Indonesia Raya dilakukan pada 24 Agustus 1945. Merdeka 100 % merupakan jargon
Tan Malaka 1946. Buku yang bernama sama ditulisnya di sekitar perlawanan 10
November 1945 di Surabaya. Pandangan maju semacam ini dapat dianggap sebagai
politik jangka panjang, tetapi realitas politik menunjukan pada Agustus 1945
terjadi huru-hara antara etnis Cina dan Melayu,artinya persoalan etnis masih
saja mengemuka, dalam perkembanganya kemudian dan sampai kini bendera UMNO
tetap menggunakan bendera Merah-Putih tetapi dengan gambar Keris bertatar
kuning di tengah-tengah. UMNO selalu mengatakan bahwa masanya belum tiba lagi
untuk kita berjuang ke arah kemerdekaan, karena kita tidak punya apa-apa
kesiapan dan dalam keadaan yang serba kekurangan. Oleh karena itu, kalau kita
hendak berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan, maka mestilah kita sediakan atau
betulkan dahulu ekonomi kita, ilmu pengetahuan, pemerintahan, undang-undang
internasional dan berbagai kesiapan lagi. PKMM berpendapat, kita harus berjuang
untuk mendapatkan kekuasaan lebih dahulu (merdeka), apabila kekuasaan sudah
berada di tangan kita, maka segala kelemahan rakyat dan negara dapat diatasi
dengan mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar