Rabu, 08 April 2015

TAN MALAKA DAN GERAKAN KIRI MINANGKABAU



Judul Buku      : TAN MALAKA DAN GERAKAN KIRI MINANGKABAU
Penerbit           : Yogyakarta, Penerbit Ombak 2007

Tebal               : xxii + 223 Hal

TAN MALAKA DAN GERAKAN KIRI MINANGKABAU
Nama asli Tan Malaka adalah Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama seni bangsawan yang ia dapatkan dari garis ibunya. Nama lengkapnya adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Tanggal kelahiran tidak dapat dipastika, dan tempat kelahirannya tidak dapat dipastikan dan tempat kelahirannya sendiri sekarang dikenal sebagai Nagari. Pandan Gadang, Suliki Lima Puluh Kota , Sumatera Barat. Ayahnya bernama HM.Rasad , seorang karyawan petani dan Rangkayo Sinah, Putri orang yang disegani di desa. Tan Malak mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat. Pada tahun 1908 ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut gurunnya GH Horensma, Malaka , meskipun kadang-kadang tidak patuh, adalah murid yang pintar. di sekolah ini ia menikmati pelajaran bahasa belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda. Ia juga adalah seorang pemain sepakbola yang hebat. Ia lulus dari sekolah tahun 1913. Setelah lulus ia ditawari gelar Datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya namun ia hanya menerima gelar datuk. Ia menerima gelar tersebut dalam upacara tradisional tahun 1913. Meskipun diangkat menjadi datuk, bulan Oktober 1913 ia meninggalkan desannya  untuk belajar Rijksweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah) yang di danai oleh para engku dari desannya. Sesampainnya di Belanda , Malaka mengalami kejutan budaya, pada 1915 ia menderita pleuritis. Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai meningkat setelah membaca de Fransche Revolutie, yang diberikan kepadannya sebelum keberangkatan ke Belanda oleh Horensma. Setelah revolusi Russia oktober 1917 ia semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme. Membaca buku karya Karl Mark, Friedrich Eangels dan Vladamir Lenin. Friedrich Nietzsche salah satu panutannya saat itulah ia membenci budaya masyarakat Jerman dan Amerika. Karena banyaknya pengetahuan yang di dapat tentang Jerman . dia kemudian mendaftar ke militer Jerman, bagaimanapun, ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing . saat itulah ia bertemu Henk Sneevliet salah satu pendiri Indische Social dari Democratische Vereeninging (ISDV) , partai komunis indonesia ia juga tertarik bergabung dengan Social Democratische-Onderwijzers Vereeninging (Asosiasi Demokrat Sosial Guru). Pada bulan november1919, ia lulus dan menerima ijazahnnya yang disebut Hulpactie. Menurut sang ayah selama Tan Malaka di Belanda, mereka berkomunikasi melalui suatu sarana mistik disebut tarekat.
Setelah lulus ia kembali ke desannya ia kemudian menerima tawaran Dr. C.W Jansen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa Deli, Sumatera Utara, ia tiba disana bulan desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak itu. Pada januari 1920 selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor. Selama masa ini, dia belajar dari kemerosotan dan keterbelakangaan hidup kaum pribumi di Sumatera. Ia juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk media massa. Salah satu karya awalnnya “Tanah Orang Miskin” yang menceritakan perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi maret 1920. Ia menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di sumatera post. Tan Malak menjadi calon anggota Volksread dalam pemilihan tahun 1920, mewakili kaum kiri. Ia memutuskan untuk mengundurkan diri pada 23 februari 1921.
Sampul majalah tempo dengan Tan Malaka, dengan julukan Patjar Merah Indonesia, Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional. Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Mat Mona yang berjudul Spionage-Dienst. Nama Patjar Merah sendiri berasal dari karya Baroneese Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernal, yang berkisah tentang seorang pahlawan Revolusi Perancis. Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya yaitu : musso (Sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Aliminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaludin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat). Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera. Tiga buku pertama ditulis oleh Matu Mona, sementara yang keempat dan kelima ditulis oleh Yusdja. Spionnage – Dienst (1938), Rol Patjar Merah Indonesia (1938), Panggilan Tanah Air (1940). Moetiara Berlompoer : Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940), Patjar Merah Kembali Ke Tanah Air (1940). Sebenarnya Tan Malaka menginginkan hoofdacte, yang statusnya setingkat lebih tinggi dari hulpactie. Meskipun begitu, kesehatannya yang buruk membuatnnya hanya bisa mendapat ijazah.
Kaum pergerakan di Sumatera Barat Hubungannya dengan Tan Malaka dengan kaum pergerakan kiri minangkabau dapat disebutkan sedikit, kecuali segelintir kaum pergerakan Sumatera Barat menemui Tan Malaka di Singapura dan Bangkok. Tercatat selama masa pendidikannya di Negeri Belanda sampai masa perjuangannya di Eropa dan Asia, Tan Malaka hanya dua kali mampir di kampung ranah minang. Beberapa kaum pergerakan kiri membina hubungan pribadi dan ideologis yang disebut seperti Djamaludin Tamin, Arif Fadillah, Haji Datuk Batuah, Natar Zainudin, Muchtar Lubis, Kandur Sutan Rangkayo Basa, Chatib Sulaiman, Sutan Said Ali dan lainnya. Djamaludin Djamil mendirikan sebuah partai yang bernama PARI (Partai Rakyat Indonesia) dan singapura bersama Lasykar Rakyat di Batavia dan Tanah Jawa adalah Djamaludin Tamin. Tamin pernah dibuang ke Digul dan keluar 1946 dalam keadaan sakit dan terpogoh-pogoh diusia 57 tahun di jalan Tangkuban Perahu, Jakarta ia menuliskan buku peringatan sewindu kematian Tan Malaka (1957). Ia menyamakan kematian “Bapak Murba Phillipina” Andrew Bonifacio dengan Tan Malaka. Dengan perasaan pahit bagai empedu, dengan hati yang pedih bagai disayat-sayat sembilu, demikian kirannya perasaan dan ratap tangis jiwa tiap rakyat Murba Indonesia yang mengenal dan mencintai perjuangan hidup Tan Malaka yang suci murni. Ia tidak akan beristirahat, tetapi akan terus berjuang untuk indonesia merdeka. Ia akan meneruskan perjalanan ke Timur jauh dan dari situ berhubungan dengan pergerakan kemerdekaan di seluruh Asia. Di Moskow dimana berlaku diktaktor Stalin, ia takkan bisa hidup. Ia tidak mempunyai tulang punggung yang mudah membungkuk, ia akan tunduk kepada prinsip yang dimufakati bersama, tetapi tidak bisa dan tidak biasa menundukan diri kepada orang seorang, pada pertukaran pikiran itu terbentang di mataku, bahwa pada suatu waktu Tan Malaka yang lurus tulang punggung keyakinannya akan bertentangan dengan Stalin, mungkin kelanjutannya dikeluarkan dari organisasi komunisme yang dikuasai oleh Stelin. Baik juga apabila ia menjauhi Stelin dan pergi ke Timur jauh. Tulisan Hatta dalam suasana dan iklim politik yang berbeda dengan front rakyatnnya melalui Soekarni meminta Hatta agar menemui semua yang kusut antara pemerintah dan barisan Tan Malaka dapat diatasi yang ditulis Hatta jika aku tidak menjadi wakil presiden, tentu aku menemui dia, sebab dia lebih tua dari aku dan lebih lama pula dalam perjuangan. Tetapi dalam keadaan sekarang aku harus tunduk pada protokol. Kemana aku pergi ke luar kota harus dikawal petugas. Sebab sebaiknya Tan Malaka datang menemui aku, keselamatannya akan dijamin, kepadannya akan diberikan safe conduct, ia pun bebas bicara Pada 27 Juni 1946, perdana menteri Sjahrir dan seminggu kemudian menteri pertahanan Amir Sjarifuddin diculik oleh kelompok Persatuan Perjuangan Di Yogya, jika saya tiadaberdaya lagi maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka . . .(Dalam rencana surat wasiat 1945, tetapi kemudian diubah oleh Drs. Moh. Hatta yang meminta turut menandatangani dengan menambah nama-nama beberapa orang lainnya). Kahin (2005:169) sedikit berbeda menulis tentang pertemuan dua kali antara Tan Malaka dan Sukarno di bulan september 1945 yang menghasilkan “surat wasiat” itu, bahwa kepemimpinan bukan diserahkan kepada Tan Malaka seorang, tetapi “kepemimpinan revolusi akan dilanjutkan oleh Tan Malaka, Sjahrir dan dua pemimpin lain seandainnya Sukarno dan Hatta tidak dapat menjalankan pemerintahan”  dua orang lain itu adalah Wongosonegoro dan Iwa Kusuma Smantri. Tidak diragukan bahwa Ratu kita adalah bijaksana, semakin lama semakin tambah kesadaran orang, baik di Nederland, maupun Hindia, bahwa pemerintah sendiri adalah perlu . lebih lama lebih dirasakan, bahwa tidak patut lagi Hindia diperintah oleh Nederland, seperti tuan tanah mungurus persil-persilnya. Sebagai seseorang internasionalisme Tan Malaka tidak mengemukakan alasan untuk permohonannya rasa rindu kepada tanah air dan keluarga, tetapi hanya penyakitnnya. Sebab apakah kawan-kawan di Eropa khususnya di Rusia, melalaikan dirinya sedemikian rupa sehingga ia harus memohon pengampunan ? ini memberi alasan untuk menimbulkan dgaan bahwa gerakan komunis sudah mulai kendur, betapapun gerakan itu dipuja-puja PKI disini.
Buku ini semula ditulis M. Yamin dalam bentuk brosur tahun 1945 Kahin (2005:168) dan kemudian dibukukan tahun 1946 oleh penerbit Bapena. Yamin mengisahkan kehebatan Tan Malaka di pantai Barat pasifik sampai ke Asia Tenggara dan di tanah air sebagai kisah Seribu Satu Malam. Bersama Chaerul Saleh dan Tan Malaka, Yamin pernah ditangkap pemerintah PM Sjahrir (1946) karena Tan Malaka dengan persatuan perjuangannya menekankan pemerintah agar tidak berunding dengan Belanda. Persindo (Pemuda Sosialis Indonesia) adalah organ dari partai sosialis yang merupakan bagian dari massa pendukung Sutan Sjahrir ketika konflik antar Layskar Rakyat Persatuan Perjuangan (Tan Malaka) dengan pemerintahan PM Sjahrir (1946), persindo bergabung dalam front Demokrasi Rakyat (FDR) bersama PKI, Partai Buruh, Partai sosialisasi melawan massa Tan Malaka di Jawa Tengah, pemimpin persindo pada waktu itu adalah DN Aidit yang kemudian menjadi ketua CC PKI. Rosihan tidak menyebut sumber dari jawaban Sjahrir tersebut. Wartawan Rosihan tidaklah ikut dalam pertemuan kedua tokoh itu. Besar kemungkinan jawaban ini diperoleh dari Sjahrir karena Rosihan dekat dengan Sjahrir. Tan Malaka menguraikan supaya dalam menghadapi perjuangan kita jangan hanya berfikir menurut logika dan analogi saja, tetapi secara revolusioner dialektika, yaitu menggunakan segala kesempatan menurut waktu, tempat dan keadaan. Hamka sendiri sebenarnya anak muda pada zamannya yang melakukan “pemberontakan” terhadap adat lama pusaka usang, yang dapat dilihat dari berbagai sastranya seperti tenggelamnya kapal van der wijk, merantau ke deli, dan di bawah lindungan ka’bah. Hamka adalah tipe orang yang kecewa karena pandangan ayahnya bahwa haram hukmnya manakala perempuan berpidato di depan laki-laki ketika menjelang pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi 1930. Menurut sang ayah, perempuan berpidato di depan laki-laki dapat mendatangkan fitnah serta seluruh badan wanita itu adalah aurat. Namun pandangan tersebut dapat dicari jalan keluar melalui keputusan Ulama yang hadir dalam Mukhtamar itu dengan menyatakanya sebagai ‘makruh’ bukan ‘haram’. Tan Malaka ‘’mencemooh’’ Sukarno dalam tulisannya yang menceritakan ketika ia usai mendengar Sukarno berpidato di (lapangan) Kebun inatang, Jakarta, pada masa pendudukan Jepang Tan Malaka mencatat pidato Sukarno, ‘’maka yang mengenai dasar politiknya Banteng Besar Indonesia berbunyi lebih kurang, kalau kalau Liong Barong Sai dan Tiongkok , Gajah Putih dari Muangthai Merak dari Birma, Lembu Nandi dari India, Sphink dari Mesir dapat bersatu dengan Banteng Indonesia dengan disinari oleh matahari Dai Nippon, maka dunia imperialisme hancur lebur, persepsi individual tentang seorang “flamboyan” Skarno dari seorang Tan Malaka memang akan tajam.
Perjuangan Minangkabau di Malaysia dan Singapura bahwa syair dari lag pejuang Indonesia di kedua negeri, semalam di malaya (oleh Bimbo diubah) Semalam DiMalaysia mengikut judul film kerja sama Malaysia dan Indonesia tahun 1976 adalah lagu sepanjang masa, tentang tempat berdirinya PKM, terdapat perbedaan dari beberapa pakar Yong menyebut berdiri di Johor sedangkan Hanrahan menyebut Singapura, tetapi sebuah buku 50 Tahun Parti Komunis Malaya (1981) menyebutnya di Kuala Pilah, Negeri Sembilan. Sutan  perpatih tidak disebut Aundrey  Kahin dalam buku Pemberontakan ke Integritas , sebagai tokoh pergerakan kiri dari Sumatera Barat, boleh jadi nama tersebut tidak muncul jika dipakai sebagai nama samaran di Semenanjung Malaya dan munculnya nama ini dalam sejarah pergerakan mengingat kita kepada Tan Malaka yang memakai nama Elias Fuentes dengan nama dan berbagai cara ia menyamar dan menyebarkan ideologi.sebelum Sukarno jatuh pada masa konfrontasi Indonesia, Malaysia, Ibrahim Yacoob, Shamsiah Fakeh, dr. Burhanuddin al Helmy, A.Samad Ismail wartawan Utusan Melayu dan beberapa kawannya berada di Indonesia atas ajakan Sukarno. Ibrahim Yacoob dan kawanya banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalis Sukarno. Ia adalah yang menemui Sukarno di Singapura, dan ingin mempersatukan Malaya dalam Indonesia Raya. Abdullah Kamil terakhir bertugas di Deplu RI dan menjadi besan mantan Presiden Indonesia Soeharto dan anak Bambang Trihatmodjo. Bersama A. Samad Ismail ia bekerja di Berita Malai, Singapura dan pendudukan Jepang kecuali Abdullah Kamil, lima orang Minangkabau pernah ditangkap Inggris bersama 150 orang lainnya dan dipenjarakan di Kuala Lumpur dan lalu dipindahkan ke penjara Changi, Singapura. Pada perjalanan ke Saigon 8 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta mampir di Singapura, mereka disambut KMM dengan bendera Merah Putih sebagai pernyataan bahwa Tanah Melayu adalah sebagian dari Indonesia Raya. Lalu dalam, perjalanan kembali ke Jakarta, Sukarno Hatta berunding dengan kelompok Ibrahim Yacoob di Taiping, 13 Agustus, salah satu kesepakatan ialah Proklamasi Indonesia Raya dilakukan pada 24 Agustus 1945. Merdeka 100 % merupakan jargon Tan Malaka 1946. Buku yang bernama sama ditulisnya di sekitar perlawanan 10 November 1945 di Surabaya. Pandangan maju semacam ini dapat dianggap sebagai politik jangka panjang, tetapi realitas politik menunjukan pada Agustus 1945 terjadi huru-hara antara etnis Cina dan Melayu,artinya persoalan etnis masih saja mengemuka, dalam perkembanganya kemudian dan sampai kini bendera UMNO tetap menggunakan bendera Merah-Putih tetapi dengan gambar Keris bertatar kuning di tengah-tengah. UMNO selalu mengatakan bahwa masanya belum tiba lagi untuk kita berjuang ke arah kemerdekaan, karena kita tidak punya apa-apa kesiapan dan dalam keadaan yang serba kekurangan. Oleh karena itu, kalau kita hendak berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan, maka mestilah kita sediakan atau betulkan dahulu ekonomi kita, ilmu pengetahuan, pemerintahan, undang-undang internasional dan berbagai kesiapan lagi. PKMM berpendapat, kita harus berjuang untuk mendapatkan kekuasaan lebih dahulu (merdeka), apabila kekuasaan sudah berada di tangan kita, maka segala kelemahan rakyat dan negara dapat diatasi dengan mudah.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar