Selasa, 28 April 2015




Rumah Sakit Khusus Jiwa (RSKJ) H. MUSTAJAB Di Desa Bungkanel


Sejarah berdirinya Rumah Sakit Khusus Jiwa H. Mustajab diawali pada tahun 1984, dimana pada saat itu KH. Supono, S. Sos selaku seorang kyai dan tokoh spiritual yang menjabat sebagai Kepala Desa Bungkanel mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Apalagi kultur masyarakat pedesaan saat itu sangat tergantung pada pemimpinnya. Setiap masalah yang timbul di masyarakat pasti akan disampaikan kepada kepala desanya. Tidak terkecuali masalah kesehatan. Kalau ada warganya yang sakit pasti diberitahu dan diminta bantuannya. Berawal dari situlah KH. Supono, S. Sos yang berlatar belakang pendidikan pondok pesantren berupaya ikut mengobati masyarakatnya dengan cara memberi air karomah air tersebut adalah air yang telah diberi doa dan amalan. Ternyata apa yang dilakukan KH. Supono, S. Sos membawa kesembuhan kepada mereka yang sakit sehingga tersebarlah kabar ini dari mulut ke mulut.
Penggabungan metode penyembuhan secara medis dan non medis ternyata membawa hasil yang memuaskan. Semakin hari semakin banyak pasien yang datang khususnya mereka yang menderita gangguan jiwa dan juga yang ingin lepas dari ketergantungan NAZA ( narkotika dan zat aditif lainnya ) Selanjutnya untuk meningkatkan pelayanan kepada pasien maka didirikan Panti Rehabilitasi Mental dan Narkoba “H. Mustajab” di bawah naungan Yayasan “An-Nur” pada tanggal 28 November 1995 dan didaftarkan pada Notaris Tajuddin Nasution, SH. Dengan nomor 3 tanggal 3 Juni 2003.
Setelah melalui proses panjang akhirnya keluarlah Keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang Ijin Sementara Kesatu Tentang Penyelenggaraan Sarana Kesehatan Rumah Sakit Khusus Jiwa H. Mustajab Purbalingga pada tanggal 30 Desember 2009. Selanjutnya, pada tanggal 5 Mei 2011 Rumah Sakit Khusus Jiwa H. Mustajab memperoleh Ijin Sementara Kedua Tentang Penyelengaraan Sarana Kesehatan Rumah Sakit Khusus Jiwa H. Mustajab, dengan keluarnya Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga oleh Dinas Kesehatan Purbalingga. Pada tanggal 20 desember 2011, terjadi pengalihan pengelola yang semula dipegang oleh Yayasan An-Nur dialihkan Ke PT. RUMAH SAKIT H. MUSTAJAB yang terdaftar pada Notaris Nurlayla Sucipto Putri, SH., MKn tanggal 16 Desember 2011.


Kanibal Sumanto Jadi Obyek Penelitian Mahasiswa Amerika dan Inggris
Masih ingat Sumanto? Seorang kanibalis asal Desa Pelumutan, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga (Jateng) ?. Tentu saja, namanya sempat mencuat menghiasi
media nasional pada awal tahun 2002 karena memangsa mayat manusia. Nama Sumanto juga sempat menghebohkan Trans TV yang mengundangnya wawancara pada acara Empat Mata. Pasca tayangan wawancara dengan Sumanto, Acara itu tutup sementara dan berganti dengan ‘Bukan Empat Mata’.
Setelah sekian tahun tak muncul, ternyata sosok Sumanto masih dicari. Tak tanggung-tanggung, yang mencari mahasiswa asing dari Amerika dan Inggris.
Kedua mahasiswa itu hendak menyelesaikan tugas mata kuliah antropologi tentang pengaruh agama dan kehidupan di desa terhadap perubahan sikap mental seseorang. Setelah surfing di internet, mereka ketemu dengan sosok fenomenal, mantan kanibalis, Sumanto.
“Kami menemukan sosok yang tapat dengan keadaan Sumanto saat ini. Dia punya masalah dengan sikap mentalnya. Dan dia saat ini masih terus dalam proses rehabilitasi di alam perdesaan. Dia juga dalam pembinaan seorang kyai,” kata Peter, mahasiswa Columbia Leeds, Amerika, saat berkunjung ke Panti Rehabilitasi mental ‘An Nur’ milik KH Supono Mustajab di Desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Purbalingga (Jateng).
Peter datang bersama rekannya bersama Rhys, mahasiswa Columbia Leeds dari Inggris. Karena tidak bisa berbahasa Indonesia, mereka ditemani seorang penerjemah.
Sumanto sendiri ketika mengetahui kedatangan dua bule muda itu langsung sumringah. Sikap suka pringas-pringis tak bisa disembunyikan. Sumanto bahkan bangga ketika kedua tamunya itu secara bergurau mengatakan, akan mempertemukan dia dengan Presiden AS Barrack Obama.
“Hebat kan, saya nanti jadi orang Indonesia pertama yang bertemu Presiden Obama. Saya bisa berbicara Bahasa Inggris tetapi saya lupa ngomongnya. Jadi saya ini adalah manusia paling berkesan di dunia. Karena saya menyita perhatian duni,” ujar cengengesan.
Sikap beringas Sumanto masih sempat ditakuti. Ketika sedang asyik mengobrol, mendadak kaki Sumanto tidak sengaja menendang laptop Peter hingga jatuh. Seketika keduanya terdiam dengan muka pucat. Mereka mengira Sumanto marah. Namun setelah Sumanto senyum, suasana cair kembali.
Setelah melakukan wawancara, Peter dan Rhys berkesimpulan bahwa orang yang bermasalah mentalnya bisa sembuh dengan metode pengobatan seperti di Bungkanel. Yakni memadukan pendekatan agama, medis dan alam perdesaan. ”Dia bisa sembuh dan kembali ke masyarakat,”

Rabu, 08 April 2015

Judul Buku      : Sejarah Dan Kebudayaan Kebumen
Penerbit           : Jl. Gejayana Gg. Buntu II/ 5A Yogyakarta
Halaman          : xii + 240
Nama               : Restu Ikhtian Prayogo
Nim                 : 1301020017
Sejarah Lokal
Pada hakikatnya si penyalin hanya menceritakan bagian inti, hal yang dianggap sebagai bumbu cerita disingkirkan, seperti Serat Guno bagi Raden Tumenggung Arung Binang I agar mau mencintai suaminya Pangeran Blitar. Peristiwa lain adalah adu jangkrik antara Raden Mas Tumenggung Aria Arung Binang II dengan Mas Mangoedikromo terhadap selir Raden Mas Aria Mangkoedirdjo yang bernama Bok Ambar.
            Silsilah dalam Babad Aroeng Binang diambil dari Padjajaran yang mempunyai tiga anak yang menonjol, Arya Bangah, Jaka Sesuruh, Dan Siyung Wanara. Jalur Jaka Sesuruh menjadi raja Majapahit pertama yang memakai gelar Brawijaya antara lain, (1) Adi istri Jaka Sengara yang menurunkan Jaka Tingkir, (2) Lembupeteng Madura, (3) Gugur, (4) Arya Damar di Palembang, (5) Raden Patah raja Demak, (6) Raden Jaranpanolih, (7) Sri Batara Katong, (8) Adipati Luwano, (9) Adipati Growong, (10) Raden Bondan Kajawan. Panembahan senopati memiliki Sembilan anak yaitu, (1) Raden Ronggo, (2) Pangeran Puger, (3) Pangeran Prboyo, (4) Pangeran Joyorogo, (5) Pangeran Juminah, (6) Raden Mas Jolang (Panembahan Seda Krapyak), (7) Pangeran Pringgoloyo, (8) Raden Ayu Tanpanangkil, (9) Raden Ayu Tepasana. Panembahan Seda Krapyak memiliki putra (1) Raden Mas Rangsang (Sultan Agung), (2) Ratu Pandansari (Istri Pangeran Pekik Surabaya, (3) Raden Mas Pamenang, (4) Raden Mas Martapura, (5) Raden Mas Cakra, (6) Pangeran Bumidirja.
            Pangeran Bumidirja beranak Kiai Bekel, Kiai Bekel beranak Kiai Wuragil, Kiai Wuragil beranak Honggayuda. Honggayuda beranak tujuh yaitu,(1) Nyai Wirarana, (2kiai Hanggadiwangsa), (3) Nyai Nalawijaya, (4) Nyai Wirawangsa, (5) Kiai Sutayuda, (6) Nyai Surajaya, (7) Jaka Sangkrib. Kisah Jaka Sangkrib dalam teks banyak kesamaan dengan babad Arung Binangun, di sisipkan berupa kisah pelarian Amangkurat I didampingi Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Puger.
            Dalam pemberontakan dari Gunung Slamet yang bernama Raden Supena (Raden Damarwulan) dan Raden Suratma (Menakkocar) menyebutkan tujuh pengikut Surajaya yakni, Surapawija, Ranapawira, Mangunpawira, Wangsapawira, Hastraprawira, Jayapawira, dan Trunapawira. Peristiwa Geger Pacina dipimpin oleh keturunan Mataram, Putra Tepasana yang bernama Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Pemberontakan Cina berhasil menguasai ibukota Kertasura dan Susuhan Pakubuwono II mengungsi ke Ponorogo (Remmelink 2002).
Babad Aroeng Binang disisipkan dengan Perang Mangkubumi yang berakhir dengan Palihan Nagari 1755. Perisitiwa ini dianggap penting karena menjadi latar belakang munculya nama Arung Binang. Menurut keterangan Babad Arung Binang karya Raden Ngabehi Tirtodimedjo, arung berarti bambu ala, mambu najis, sedangkan binang berarti binuwang. Jadi arung binang berarti membuang bau-bau jelek atau membuang klilip ratu. Menurut kamus Roorda, arung berarti barung atau grubyug, sedangkan binang berarti tombak binang, tombak kecil, atau tlempak. Jadi arung binang berarti suara grubyug para prajurit atau yang membawa senjata tombak kecil (tlempak), yaitu Hanggawangsa dan tujuh orang pengikut yang berasal dari Kutawinangun.
Nama Arung Binang dijelaskan bahwa tokoh yang berasal dari Kebumen sangat berperan dalam Perang Mangkubumi yang berada di pihak Sunan. Arung Binang adalah seorang yang terpercaya dan memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap raja. Berakhirnya Perang Magkubumi dijelaskan adanya peran seorang nahkoda dari Turki, Syekh Ibrahim yang dimanfaatkan oleh Jenderal Jacob Mossel untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai atas nama Sultan Turki. Perdamaian melalui Perjanjian Giyanti 1755 membagi dua kasultanan yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Kemudian disusul dengan Perjanjian Salatiga 1757 dengan timbulnya Pura Mangkunegara yang dipegang oleh Pangeran Adipati Aria Mangkunegara atau Pangeran Sambernyawa.
Sisipan Perang Mangkubumi disusul dengan Deskripsi keturunan Arung Binang I, istri dari Klegen yang bernama Mas Ajeng Kuning melahirkan (1) Raden Ayu Pangeran Blitar, (2) Raden Honggodirdjo (Kliwon Kabopaten Sewu Surakarta), (3) Raden Ayu Ngabdulsalam (Kutawinangun), (4) Raden Ayu Kromowirdjojo. Istri dari desa Winong, Mas Ajeng Dewi melahirkan (5) Raden Ayu Wonojudo, (6) Raden Wongsodirdjo (Raden Tumenggung Arung Binang II), (7) Mas Ajeng Wongsodiwirjo (Prembun), (8) Mas Ajeng Soerodiwirjo (Solo), dan istri Mas Ajeng Ragil dari desa Prajuritan melahirkan (9) Raden Wongsodikromo.
Pada tahun 1826, Arung Binang III di Kutawinangun kedatangan pemberontak yang diutus Pangeran Dipanegara (bandingan Leirissa 1984: 194, Simbolon 1995: 110, & Carey 1985: 118-119). Raden Mas Aria Arung Binang III tunduk kepada Pangeran Dipanegara, tetapi mengirim wakilnya yaitu adiknya bernama Raden Mas Aria Mangkoedirjo. Menurut Kiai Ngabduljahal, Arung Binang III pergi ke Surakarta dengan selir Bok Ajeng Sami dari Sudagaran (Kutawinangun).
Setelah pemberontakan menipis pasukan kompeni dibagi menjadi dua, yaitu (1) yang tinggal di Kedung Kebo dipimpin Kolonel Klerks dan Pangeran Kusumayuda didampingi Raden Adipati Cokronagoro, (2) yang tinggal di Merden dikepalai Kolonel Margilis didampingi Arung Binang IV. Raden Tumenggung Arung Binang IV sendiri ingin membangun pusat kabupaten di Mrinen tetapi ia menerima bisikan gaib bahwa Mrinen tidak baik dijadikan ibukota dan tempat yang baik adalah Pangeran Bumidirdja tinggal, yaitu Panjer, Kebumen.
Di sebelah Panjer terdapat desa Selang, hidup seorang bernama Kramaparwo. Ia bekas pengikut Pangeran Dipanegara untuk membujuk kawanya Pujo untuk memberontak Arung Binang IV. Arung Binang IV mengungsi ke Kutawinangun dan minta bantuan kepada kompeni di Purworejo. Arung Binang IV meminta pendapat Kiai Ngabduljalal mengenai letak yang layak bagi ibukota baru, menurut Ngabduljalal letak yang tepat disebelah utara Sungai Lukolo. Jadi pindahnya kearah barat laut dari tempat semula. Pendiri saka guru ditandai dengan sengkalan pada blandar yang berbunyi kaya obah swaraning wong atau sama dengan tahun 1763 atau 1835 Masehi.
Pada masa kolonial, ada empat kabupaten lain selain Kebumen yaitu, (1) Karanganyar, bupati Raden Mas Aria Tirtaatmadja yang bergelar Raden Mas Tumenggung Djajadinngrat, wilayahnya Bagelan Barat. (2) ambal bupati Raden Tumenggung Poerbanagara, wilayah Pesisir selatan Bagelan, (3) Ledok (Wonosobo) bupati Raden Tumenggung Mangonkoesoemo wilayah Bagelan Utara, (4) Semawung (Kutoarjo) bupati Raden Tumenggung Sawoenggaling wilayah Bagelan Barat bagian timur.
Dikisahkan Raden Mas Kolopaking karena cakap dan baik pekerjaannya maka ia disukai oleh Asisten Residen dan tuan lainnya. Ia kadang kurang memperhatikan kondisi dengan bupati maka Raden Tumenggung Arung Binang IV melaporkan hal itu kepada Asisten Residen. Mas Kolopaking dimarahi Asisten Residen dan disuruh memilih sliro opo putro. Setelah Raden Mas Kolopaking dimarahi dari Asisten Residen ia menghadap bupati untuk menyatakan, (1) permintaan maaf, (2) berpamitan untuk pulang ke rahmatullah, dan (3) memasrahkan nasib anak-anaknya.
Teks Babad Arung Binang menunjukan realitas sejarah daripada teks Babad Kebumen dan babad Arungbinangan. Kedua teks menyatakan bahwa kebesaran Jaka Sangkrip tanpa ada cela di akhir hidupnya, bahkan kesan romantic menjelaskan bahwa Raden Tumenggung Arung Binang I pulang kampong untuk menikmati kehidupan pada masa itu. Kesaksian teks Babad Kebumen dan Babad Arungbinangan menutupi nasib Arung Binang I yang dibuang karena kesalahan fatal sehingga dipecat dari jabatan dan dilanjutkan dengan masapembuangan (Ricklefs (2002: 414) mengomentari bahwa suatu hal sangat mengejutkan bahwa sunan memecat orang kuat seperti Arung Binang karena Mangkunegara I mengira bahwa raja tidak memiliki keberanian untuk melakukan hal itu.
4. Tokoh-Tokoh Arung Binang
            Tokoh Arung Binang sendiri kecuali Arung Binang V adalah keturunan Jaka Sangkrip (Surawijaya atau Hanggawangsa atau Arung Binang I), berdasarkan silsilah Warta Trah Arung Binang PATRAB (Peguyuban Trah Arung Binang) Jakarta menunjukan bahwa kedelapan tokoh bukanlah keturunan secara lurus atau satu jalur. Ada empat jalur yang terdiri dari tiga jalur keturunan Jaka Sangkrip dan satu jalur keturunan Kiai Hanggayuda.
            Wongsodirdjo atau Arung Binang II adalah anak keempatRaden Tumenggung Arung Binang I. Arung Binang II digantikan oleh RM Rio Soerjodirdjo yang bergelar Arung Binang III (1808-22 Agustus 1831). Arung Binang III anak Raden Ngabehi Honggodirdjo (menantu Mangkunegara I, kawin dengan BRA semi) dan cucu Arung Binang I. honggodirdjo adalah anak kedua Arung Binang I yang menjadi kliwon Kabupaten Bumi Sewu di Surakarta.
Arung Binang III diganti putranya RM Mangundiwirjo yang bergelar Arung Binang IV menjadi penguasa Panjer Roma atau bupati Kebumen pertama (22 Agustus 1831- 30 Juni 1849). Arung Binang IV diganti Bagus Sanglir juga bergelar Arung Binang V (30 Juni 1849- 19 Juli 1877). Tokoh ini memantu Arung Binang III atau ipar Arung Binang IV karena kawin dengan Raden Ayu Sebrod. Arung Binang V bukan keturunan Jaka Sangkrip melainkan keturunan Demang Hanggayuda. Silsilahnya sebagai berikut (1) Nyai Hanggayuda, (2) Kiai Honggadiwangsa, (3) Kiai Djojotaroeno, (4) Kiai Ronodiwirjo, (5) Bagus Sanglir (Arung Binang V), (6) Raden Ayu Tirtodipoero, dan (7) Raden Ayu Mangundirdjo (istri Arung Binang VI).
Arung Binang VI keturunan kelima atau keenam dari Jaka Sangkrip silsilahnya (1) Jaka Sangkrip. (2) Nyai Abdul Salam, (3) Raden Tirtodiwirjo, (4) Raden Ngabehi Tirtodirdjo, (5) Raden Adipati Mangundirdjo (Arung Binang VI), atau (1) Jaka Sangkrip, (2) Raden Ngabehi Honggodirdjo, (3) RM Rio Soerjodirdjo (Arung Binang III), (4) Raden Ayu Tirtodiwirjo, (5) Raden Ngabehi Tirtodirdjo, (6) Raden Adipati Mangundirdjo (Arung Binang VI). Raden Mangundirdjo adalah saudara sepupu sekaligus menantu Arung Binang III.
Arung Binang VI mempunyai dua anak yang memakai Arung Binang, yaitu Raden Maliki Soerjomihardjo atau Arung Binang VII dan Raden Adipati Soemrah Sosrohadiwidjojo atau Arung Binang VIII.
D. Sejarah Trah Sruni
Babad Sruni diterbitkan oleh Raden Soemididjojo (1953 b) mengubungkan silsilah dengan Majapahit. Tumenggung Kertinagara I disebut sebagai anak dari Tumenggung Pramonca yang tinggal di Sruni dan cucu Patih Dalem Kasultanan Pajang Ki Mas Monca (Harya Moncanagara). Silsilah ini dilengkapi empat tokoh yakni Brawijaya Wekasan (Majapahit), Raden Jaka Pekik (Harya Jaranpanolih), Harya Leka (Sumenep). Mas Tumenggung Kertinagara I mempunyai dua istri, istri yang tua melahirkan Ki Kertileksana sedangkan istri muda melahirkan anak perempuan yakni Mas Rara Rinten.
Silsilah Sruni merupakan alat untuk melegitimasikan keberadaan penguasa di Sruni sekaligus perlawanan terhadap raja Mataram. Teks Babad Sruni melukiskan dua peristiwa pemberontakan terhadap raja Mataram yaitu Tumenggung Kertinagara di Sruni dan Trunajaya. Daerah pengaruh Sruni sendiri sampai tanah Roma (batas barat), batas utara tanah Ledok (Wanasaba), batas timur Kutawinangun dan batas selatan Samudra Indonesia.
Sebelum pusaka Kiai Jabardas diserahkan kepada raja, diibukota telas meletus pemberontakan Trunajaya. Dalam peristiwa ini sunan meloloskan diri dari keraton kearah barat dengan Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Puger serta prajurit pilihan. Ketika sampai di Panjer para pemberontak dihadang prajurit Sruni dibawah pimpinan Ki Kertileksana, Ki kertisentika dan Demang Sutawijaya. Ki Demang Sutawijaya menyusul Sunan dan beristirahat di Banyumas karena beliau menderita sakit. Ki Demang menyatakan bahwa ia berhasil memperoleh pusaka Kiai Jabardas.
Ki Demang mengusulkan kepada raja agar dosa Ki Tumenggung Kertinagara diampuni. Raja juga memutuskan daerah Sruni sudah dikuasai sebelum diserahkan pengelolaannya kepada Tumenggung Kertinagara. Daerah kekuasaan tumenggung Sruni Panjer, Roma, Semawung, dan Ledok. Kewajibannya menyerahkan bulu bekti setiap tahun ke ibukota Mataram. Pemberontakan Trunajaya dipadamkan dan Pangeran Adipati Anom menjadi raja dengan gelar Susuhan Amangkurat II. Ki Kramaleksana mendapatkan anugerah raja, yaitu jabatan mantra pamajegan di Klegen Kilang, wilayah Sruni dengan gelar Ngabehi.
Perjalanan Kertisentika kearah utara dan sampai di hutan Sirnabaya. Pada suatu malam Kertisentika mendapatkan bisikan gaib dari ayahnya agar pergi ke Kabupaten Roma karena disanalah ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Akhirnya Kertisentika diambil sebagai menantu Mas Tumenggung Roma. Kramaleksana beristri dua yaitu istri yang tua adalah putrid Raden Tumenggung Kertinagara I dan istri mudanya adalah putrid Tumenggung Wiraguna dari Kartasura, kramaleksana mempunyai 15 orang anak dari dua istri yaitu, (1) Ngabehi Wiryakrama menjadi mantri gunung di Tlagagapitan. Anak perempuan Ngabehi Wiryakrama menjadi selir Sultan Hamengku Buwana II dan berputra Gusti Raden Ayu Pringgadirja. Selir dianugerahi nama oleh raja, yaitu Bandara Raden Ayu Nilaresmi, (2) Mbokmas Dipayuda, (3) Ngabehi Kramadirja menjadi mantri nangkil di Keraton Yogyakarta. Setelah pension, ia kembali ke Selang dan berganti nama Ki Kramasentika, (4) anak perempuan yang diambil selir oleh Sultan Hamengkubuwana I dan diberi nama Bandara Raden Ayu Dayahasmara. Selir melahirkan tiga orang putra, Bandara Pangeran Harya Handikusuma, Bandara Raden Ayu Juru, dan Bandara Pangeran Harya Balitar, (5) Mbokmas Kramayuda, (6) ki Secawijaya menjadi mantri nangkil di Keraton Yogyakarta. Ia menggantikan saudarannya yang bernama Ngabehi Kramadirja, (7) Ki Kramadiwirya, (8) Ngabehi Resadirja memperistri Trah Mangkunagara, yaitu buyut Pangeran Sambernyawa Surakarta, (9) Ngabehi Kramataruna, (10) Ki Kramatirta, (11) Ki Resadiwirya, (12) Mbokmas Wiryayuda (Setrareja), (13) Mbokmas Resapraja (Kramasentika), (14) Ki Honggawijaya menjadi mantri dengan nama Ngabehi Kramayuda ia beristrikan seorang wanita dari Surakarta dan berputra Ngabehi Jayapranata. Ngabehi Jayapranata menjadi Patih Mangkunegara. Anak perempuan dijadikan selir oleh Mangkunegara III dengan nama Mas Ajeng Dayaresmi. Selir melahirkan Raden Mas Suryahandaka dan Raden Ajeng Kuning. Anak kedua dipersunting Kanjeng Pangeran Harya Gandahatmaja. Gandahatmaja adalah putra Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara IV di Surakarta dan (15) Mbokmas Jawidenta.
Anak Ngabehi Kramaleksana nomor 1-5 adalah anak istri tua, sedangkan nomor 6-15 anak istri muda. Versi lain mengatakan bahwa istri Kramaleksana ada tiga orang dan istri yang ketiga berasal dari Yogyakarta. Versi lain menyebutkan bahwa anak Kramaleksana berjumlah 12 orang. Mbokmas Dipayuda, Mbokmas Resapraja, dan Mbokmas Jawidenta tidak ada. Versi itu berasal dari silsilah Kanjeng Raden Harya Adipati Danuredja V disebut Kanjeng Pangeran Harya Juru. Keturunan Ngabehi Kramaleksana ada tiga orang yang masuk keraton yaitu, (1) Anak (Bandara Raden Ayu Dayahasmara) selir Hamengkubuwana I, (2) Cucu (Bandara Raden Ayu Nilaresmi), (3) Buyut (Mas Ajeng Dayaresmi) selir Mangkubuwana III.
Babad Sruni merupakan alat legitimasi tokoh Kertinagara I sebagai Tumenggung Sruni yang wibawa. Kewibawaannya dibangun dari silsilah dari Majapahit yang dihubungkan dengan local Bagelan dan Madura. Legitimasi diperkuat dengan munculnya dua orang anak Kartinegara I yang sakti, serta keberanian Kartinegara I merencanakan pemberontakan terhadap raja Mataram Sultan Amangkurat Tegalarum.
E. Sejarah Trah Kolopaking dan Wangsanegaraan
1. Silsilah Raden Riya Prayadirja (Serat Sujarah Banyumas)
Dikisahkan Prabu Brawijaya V mempunyai banyak putra, dua orang Putra Prabu Brawijaya V menyingkir dari ibukota, yaitu (1) Raden Jaka Luhur atau Sri Anom atau Bondan Surati dari permaisuri Andarawati. Jaka Luhur berdiam di Gunung Kidul dan bertapa di Gunung Kidul dan bertapa di Gunung Rambut Tumbal, (2) Raden Jaka Wanabaya I, (3) seorang wanita yang diperistri Kiai Ageng Urengjati. Jaka Balut bergelar Kiai Ageng Mangir I mempunyai putrid bernama Rara Ngisah. Rara Ngisah diperistri Raden Jaka Wanabaya I, Raden Jaka Wanabaya I bergelar Ki Ageng Mangir II. Ki Ageng Mangir II berputra Ki Ageng Mangir III (Kiai Wanabaya II) Ki Ageng Mangir I meminjam ladhing tugel kepada Rara Jegong sambil member pesan ”Gedhuk kowe nganggo ladingku, aja koselahake pangkon menawa ilang. Yen ora kanggo, slempit-slempitake bae”. Rara Jegong lupa pesan tersebut sehingga lading itu hilang. Ki Ageng Mangir I berkata “ladhinge ilang gendhuk? Ya wus pinasthi, aja dadi rudatimu wus ilang mangsaa bisa ketemu.
Ular Baru Klinting setelah sampai di mulut Gua Rangga bermaksud untuk masuk, tetapi dihalangi oleh Kiai Wanabaya I. Baru Klinting berkata “Ingsun Aran Baru Klinting takon sudarma. Sapa kang yoga? Ana kang tutur yekti sira kang yoga.”Kiai Wanabaya menjawab,”ya ingsun gelem ngaku suta, yen bisa ngukur satepunge Gunung Merapi ngangga sadawaning awak sira”. Kemudian, Gunung Merapi dililit oleh Baru Klinting, tetapi panjang badanya masih kurang satu depa. Baru Klinting menjulurkan lidahnya. Melihat hal itu, Kiai Wanabaya I segera menebas lidah itu dan Baru Klinting mati. Lidah tersebut berubah menjadi tombak yang amph, yaitu Baru Klinting. Tombak Baru Klinting diwariskan kepada Kiai Wanabaya II (Ki Ageng Mangir III).
Ketika terjadi peristiwa perang Trunajaya, Kanjeng Sunan Amangkurat Tegalarum meloloskan diri dari keraton. Pelarian diiringi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Puger, Raden Ayu Keleting Dadu, dan Raden Ayu Kaleting Abang. Kanjeng Sunan berkeinginan untuk meminum kelapa muda. Karena sudah malam dan kebetulan hujan, Ngabehi Kertawangsa hanya dapat menyajikan kalapa aking. Sejak saat itu Kiai Ngabehi Kertawangsa diberi nama Kiai Ngabehi Kalapa Aking I. lama kelamaan nama Kalapa Aking berubah menjadi Kolopaking.
Kiai Ngabehi Kalapa Aking I berputra Bagus Mandangin memakai gelar Kiai Bagus Kalapa Aking II. Kiai Bagus Kalapa Aking II berputra Bagus Soleman. Bagus Soleman menikah dengan putrid Kiai Nalaparaya, Bagus Soleman memakai gelar Kiai Bagus Kertawangsa III dan tidak memakai Kelapa Aking. Kertawangsa III memiliki anak bernama Mas Tumenggung Kertawangsa IV, atau Kalapa Aking III. Mas Tumenggung Kalapa Aking III mempunyai tiga istri padmi, (1) istri tertua anak Raden Resapraja II, Ngabehi Selang Sruni dan cucu Kanjeng Raden Tumenggung Kartanagara (Bupati Roma Gombong), (2) Istri kedua anak Raden Tumenggung Arung Binang II, Bupati Siti Ageng Surakarta. (3) Istri muda anak Kanjeng Raden Adipati Danuredja Ii, Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta. Danuredja II disebut Danuredja Seda Kedhaton. Beliau kakek Sultan Hamengku Buwono V Dan VI.
Dari perkawinannya Mas Tumenggung Kalapa Aking III berputra dua belas anak. Yang lahir dari istri pertama Kanjeng Raden Adipati Kertanegara I,Bupati Karanganyar. Yang lahir dari istri kedua Raden Suradahana dan Kanjeng Raden Adipati Jayanegara I, Bupati Banjarnegara, yang lahir dari istri ketiga meliputi (1) Raden Ayu Antawirya, (2) Raden Riya Jayadirja, (3) Raden Kertawongsa, (4) Raden Ayu Gandadimeja, (5) Raden Riya Prayadirja III (bernama Kalapa Aking), (6) Raden Bagus Samadi, (7) Raden Bagus Sahitma, (8) Raden Riya Prawiradireja (Prawiraharja), (9) Raden Lurah Prajadimeja. Keturunan Mas Tumenggung Kalapa Aking III termuat Serat Sujarah Banyumas.
Pelarian Sunan Amangkurat Tegalarum sampai di Panjermelegimitasikan trah Kolopaking karena asal mula nama trah muncul sebagai hadiah Sunan, disamping hadiah putrid, Raden Ayu Keleting Abang. Dimunculkan trah Mataram bercampur dengan trah Kolopaking. Trah yang berasal dari Wedi,Bagelan ditampilkan dalam silsilah. Dengan demikian tokoh Soemitro Kolopaking masih keturunan Majapahit, Syekh Geseng, Mangir, Panembahan Senapati, Amangkurat Tegalarum, Bagelan, Arungbinangan, Ambal, Mertadiredjan Banyumas, dan Dipayuda Banjarnegara (Priyadi 2002: 197-204).
2. Kolopaking versi Tedhakan Serat Soedjarah Joedagaran
            Silsilah dimulai dari Panembahan Senapati Mataram sebagai cikal bakal menurunkan trah Kolopaking dengan urutan sebagai berikut: (1) Panembahan Senapati, (2) Raden Ayu Pambayun, (3) Kiai Madusena (Makam di Waja Bagelan), (4) Kiai Badranala (makam di Gunung Geyong, Kuwarasan), (5) Kiai Kertasuta, (6) Kiai Curiga, (7) Kiai Kertawangsa (Kalapaaking I) (8) Kiai Kertawangsa Madengis (Kalapaking II), (9) Kiai Kertawangsa Suleman (makam di Kalijirek, Kebumen), (10) Kertawangsa (Mas Tumenggung Kalapaking III).
            Keturunan yang kesepuluh memiliki istri tiga, istri pertama putri Raden Ngabehi Reksapraja II (Ngabehi Sruni), istri kedua putrid Raden Tumenggung Arung Binang II (Bupati Wadana Siti Ageng di Surakarta, asli Klegen), istri ketiga putrid Kanjeng Raden Adipati Danuredja II (Pepatih Dalem ingkang Sinuluh Kanjeng Sultan Hamengku Buwana II).
Istri pertama (Sruni Selang) melahirkan Raden Adipati Kartanegara, Bupati Karanganyar kawin dengan putrid Raden Adipati Cakrawadana, Bupati Cilacap. Istri kedua (trah Arung Binang) melahirkan Raden Nganten Suradahana dan Raden Adipati Jayanagara. Istri ketiga (trah Danuredjan) melahirkan Sembilan anak yakni, Raden Ayu Antawirya (Makam Mulangi), Raden Riya Jayadirja (Makam Karangturi, Wiyata), Raden Kertawangsa, Raden Ayu Gandadimeja (Makam Mulangi), Raden Riya Prayadirja III (Kalapaaking), Raden Bagus Saitman (meninggal waktu bayi), Raden Bagus Muradi (meninggal waktu bayi,Makam Kalijirek Kebumen), Raden Riya Prawiraharja (Bupati Anom Patih Dalem Pangabehan, Makam di Beran), dan Raden Lurah  Prayadimeja (Lurah Penandhong Yogyakarta).
Raden Adipati Kartanegara berputra sepuluh (nomor 1-7 lahir dari istri padmi putrid Raden Adipati Cakrawadana, nomor 8-9 dari istri padmi dari Banjarnegara, dan nomor 10 dari istri selir): (1) Raden Ayu Padmakusuma (Istri Raden Ngabehi Padmakusuma, Ondar Patih Kebumen merangkap wadana kota, trah Cakranagaran, Bagelan), (2) Raden Ayu Wangsakusuma (istri Wadana Kutoarjo, trah Blitar dari Susuhunan I), (3) Raden Ayu Prawirengkusuma (istri Wadana Pekalongan), (4) Raden Ayu Patih Kertadireja (istri Patih Cilacap), (5) Raden Tumenggung Kartanagara II, Bupati Karanganyar (menantu Raden Adipati Mertadiredja III, Banyumas), (6) Raden Wadana Sukarna, (7) Raden Ayu Mangkusubrata (istri juru tulis Kabupaten Banjarnegara, trah Banjar), (8) Raden Ayu Padmakusuma (lihat nomor 1), (9) Raden Rara Marwi, dan (10) Raden Rara Martijah.
Raden Nganten Suradahana berputra (1) Raden Subrata, (2) Raden Suradirja, (3) Raden Suratmi, (4) Raden Atmasungwangsa, (5) Raden Sulam.
Raden Adipati Jayanegara I, Bupati Banjarnegara berputra (1) Raden Wadana Jayamisena (lahir dari istri trah Ambal, putrid Raden Adipati Poerbanagara, menjadi menantu Raden Adipati Mertadiredja III, Banyumas), (2) Raden Sutapa (lahir dari istri putrid Raden Adipati Cakranagara I, Purworejo), (3) Raden Hurip (dari selir), (4) Raden Windu (dari selir), (5) Raden Rara Salamah (dari selir), dan (6) Raden Rara Surtinah (dari selir).
Raden Antawirya berputra Raden Nganten Jagadiwirya dan Raden Nganten Pancapati. Raden Riya Jayadirja (bupati anom maosan dalem di Sentolo) kawin dengan putrid Tumenggung Wiraguna berputra Raden Lurah Prawirarana dan Raden Nganten Prawirasudira (menantu Mas Lurah Mangkuwerdaya dan melahirkan Raden Sumarja dan Raden Rara Musinah). Yang lahir dari selir (anak Demang Jlaban) adalah Raden Nganten Sastrasuwita.
Raden kertawangsa berputra Raden Ngabehi Dermareja. Raden Ayu Gandadimeja berputra Raden Bekel Natawireja dan Raden Ngabehi Kertadimeja.
Raden Riya Jayadirja kawin dengan putrid Kanjeng Raden Adipati Danuredja V berputra Raden Sastradipa (meninggal), Raden Ngabehi Jayarejasa (Mantri Miji di Kadanuredjan), Raden Tejaresmi (selir BPH Hadinagara putra Sultan Hamengku Buwana VII, melahirkan BRM Sudarmadi, BRM Suhardi, dan BRA Suyati), Raden Ajeng Suratminah, Raden Ajeng Rujinah, dan Raden Rara Umyung, Raden Bagus Sudarsa, dan Raden Rara Surti.
Raden Riya Prawiraharja (bupati anom Patih Yogyakarta) beristri putrid Tumenggung Puspanagara dan berputra Raden Ayu Atmatarna (istri Lurah Atmataruna, melahirkan dua orang anak: Raden Ajeng Sutinah dan Raden Mas Suradi), Raden Ayu Atmasuwita (istri Raden Bekel Atmasuwita), Raden Riya Prawiraharja (menggantikan  kedudukan ayahnya).
Raden Lurah Prayadimeja (lurah abdi dalem Panandhon) dari selir berputra Raden Bagus Suparja, Raden Bagus Saparjan, Raden Bagus Sapardi, dan Raden Rara Sapariyah.
Disamping silsilah diatas, disini juga ada beberapa keterangan sebagai berikut:
(1)   Raden Ayu Kalapaaking setelah suaminya wafat, kawin dengan Mas Tumenggung Wiranagara, (keduanya dimakamkan di Wiyara, Karangturi) berputra Raden Bagus Umar.
(2)   Anak Kiai Kertasuta yang kedua, Kiai Kertadipa bergelar Kiai Wangsanagara menurunkan Mas Ajeng Bratadiningrat (istri Raden Tumenggung Bratadiningrat).
(3)   Kiai Kertawangsa II berputra empat yakni Kiai Kertawangsa Suleman, Kiai Mertawangsa, Nyai Resawijaya, dan Nyai Kertadrana.
(4)   Putrid Raden Reksapraja II, yakni Mas Ajeng Kertawangsa, Kramaleksana putra Kiai Sutapraya. Sutapraya anak Kiai Sutamenggala. Sutamenggala putra Kiai Aden. Mereka trah Pangeran Maduretna.
(5)   Kiai Kramaleksana berputra 12 anak yakni (1) Kiai Wiryakrama, (2) Ki Kramayuda ( Sruni), (3) Raden Ayu Dayaasmara (selir Sultan Hamengku Buwana I),(4) Bok Ajeng Dipayuda, (5) Mas Kramadirja, (6) Mas Kramadiwirya, (7) Mas Resadirja, (8) Mas Kramataruna,(9) Mas Kramatirta, (10) Mas Resadiwirya, (11) Mas Ajeng Wiryayuda, (12) Mas Kramayuda. Keturunan Kiai Kramaleksana.
3. Kronik Kolopaking
Tirto Wenang Kolopaking (1997) berjudul Sejarah Dinasti Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking (1677-1832) menyatakan bahwa Kertawangsa Sulaiman atau Bagus Soleman sama dengan KRAT Kolopaking III.
Persoalan lain bahwa dalam buk karya Kolopaking (1997: 11-12 & 38) urutan waktu kronologis perjalanan Sunan Amangkurat I
TANGGAL
KEJADIAN
30 Juni 1677
Rombongan Sunan Amangkurat Agung I memasuki daerah Panjer Roma. Sore harinya sudah sampai kota Panjer
1 Juli 1677
Sunan Amangkurat Agung I dalam perawatan Kiai Ageng Kertawangsa
2 Juli 1677
Sunan Amangkurat Agung I sembuh dari sakitnya Kiai Ageng Kertawangsa mendapat anugerah gelar Kalapa Aking (Kolopaking).
3 Juli 1677
Rombongan Sunan Amangkurat Agung melanjutkan perjalanan. Kiai Ageng Kertawangsa kembali ke Panjer Roma dari Nampudadi.
Kronik diatas menunjk pada historis trah Kolopaking yang lahir pada 2 Juli 1677. Peristiwa tersebut merupakan legitimasi keluarga Kolopaking sebagai penguasa Panjer Roma. Hasil rekontruksi Hermanus Johannes de Graaf (1987b: 199, bandingan Kartodirdjo 1997: 197, Ricklefs 1991: 115, Reksodirdjo tt: 2) dipakai untuk menyusun kronik diatas. Rekontruksi H.J. de Graaf

Hari
Kejadian
Tanggal
Berita yang diterima Outers di Tegal
Pertama
Dari keraton ke Imogiri
28 Juni

Ke-2
Dari Imogiri ke Jagabaya
29 Juni

Ke-3
Dari Jagabaya ke Rawa
30 Juni

Ke-4
Dari Rawa ke Bocor
1 Juli

Ke-5
Dari Bocor ke Petanahan
2 Juli

Ke-6
Dari Petanahan ke Nampudadi
3 Juli
7 Juli
Ke-7
Dari Nampudadi ke Pucang
4 Juli

Ke-8
Dari Pucang ke Banyumas
5 Juli
10 Juli
Ke-9-11
Istirahat di Banyumas
6-8 Juli

Ke-12
Dari Banyumas ke Ajibarang
9 Juli

Ke-13
Dari Ajibarang ke Wanayasa (Winduaji)
10 Juli
12Juli
Ke-14-15
Dari Wanayasa (Winduaji) ke Tegalrum
11-12 Juli

Ke-16
Pemakaman di Tegalrum
13 Juli

Tokoh pertama yang ditonjolkan adalah Raden Bagus Bradnala yang lahir tahun 1603. Tokoh ini dicatat oleh sejarah trah sebagai pengawal bahan makanan yang dikirimkan ke Jayakarta atau Batavia ketika Sultan Agung mengadakan ekspedisi untuk menghancurkan VOC di Batavia. Tokoh kedua menonjol pada tahun 1677, ia mendapat anugrah nama baru dan seorang istri triman yang bernama Raden Ayu Dewi Mulat, putrid Raja Mataram Sunan Amangkurat I. tokoh ketiga, Raden Kertawangsa Mandingen (versi lain Mandangin) adalah putra Kolopaking I yang menonjolkan peran dalam penyerbuan ibukota Mataram untuk menumpas pemberontakan Trunajaya pada pertengahan tahun 1678. Tokoh keempat, Kiai Kertawangsa Sulaiman (versi lain: Bagus Soleman) atau Raden Sulaiman Kertawangsa membantu Pangeran Mas Garendi dalam peristiwa Geger Pecinan. Tokoh kelima, Kiai Kertawangsa IV atau Kolopaking IV (seharusnya III, versi teks Banyumas). Menurut trah Kolopaking merupakan masa kejayaan atau keemasan Kadipaten Panjer Roma VI (1809-1832). Tokoh keenam adalah Adipati Kertanagara I (bupati Karanganyar II, 1864-1885, putra KRAT Kolopaking III). Tokoh ketujuh adalah Kanjeng Raden Adipati Arya Soemitro Kolopaking Poerbonegoro menjadi bupati Banjarnegara (1927-1945).
4. Soemitro Kolopaking Poerbonegoro
            Otobiografi Soemitro seluruhnya ada 91 + iv halaman. Soemitro member “kata pendahuluan” tertanggal 7 Desember 1968, disamping itu ada lampiran yaitu tulisan Dwidjo Hardjosoebroto dan kutipan ahli Antropologi budaya, Prof. Dr. J. Van Baal. Tulisan Dwidjo Hardjosoebroto berjudul “ siapa dan apakah Raden Adipati Ario Soemitro Kolopaking Poerbonegoro Guru Agung Pertama pada Loge Agung Indonesia? Tulisan yang diterbitkan oleh Berita Loge Agung Indonesia No.3 bulan Agustus 1959.
            Lampiran lain adalah kutipan tulisan J. Van Baal berjudul Mensen in Verandering: Ontstaan en Groei van een Nieuwe Cultuur in Ontwikkelingslanden (1967: 128-131. Lampiran ini merupakan kesan-kesan yang diperoleh ketika menjadi sekretaris Residen Banyumas Dr. J. van Baal sering mengikuti perjalanan Soemitro menjadi bupati.
Soemitro Kolopaking lahir di Papringan, Kabupaten Banyumas, Karisidenan Banyumas, 14 Juni 1887. Riwayat pendidikan antara lain: Sekolah Jawa (1893-1896), Europese Lagere School (1896-1901), Gymnasium Willem III (H.B.S. 5 tahun) di Jakarta dan Leiden (1901-1907), mahasiswa Indologie Di Leiden (1907-1914).
Tahun 1917, Soemitro belajar selama dua tahun di Sekolah Polisi Jakarta dan lulus 1919, kemudian Soemitro ditempatkan di Bandung sebagai komisaris polisi kelas II (seksi chef), naik pangkat menjadi komisaris I (1922) dan menjadi gewestelijk Leider de Veldpolitie di Karisidenan Priyangan Lama. Veldpolitie sama dengan Brimob dalam kepolisian Indonesia. Soemitro merupakan seorang pribumi yang menembus jabatan lebih tinggi daripada Hoofpolitieopziener.
Tiga bulan kemudian Soemitro mendapat izin dari Sekolah Pelayaran Makasar (Zeevaartschool Makasar) untuk mengirim anak Parta Kutang ke Makasar. Setelah menjabat sebagai komisaris polisi di Priyangan (1922-1925), Soemitro diangkat menjadi Wedana Sumpyuh atas permintaan keluarganya di Banyumas, selanjutnya Soemitro diangkat menjadi bupati Banjranegara (1926-1950) untuk menggantikan ayahnya. Pada masa revolusi Soemitro pernah menjadi Residen Pekalongan 9merangkap bupati, 1945) dan merangkap Gubernur yang dibantu oleh Kementerian Dalam Negeri tahun 1946. Tahun 1947-1949 ikut bergerilya. Soemitro pernah menjadi anggota DPR tahun 1955 dan pension sebagai pegawai negeri tahun 1957 bulan November. Soemitro adalah bupati Banjarnegara tiga zaman, masa pemerintahan colonial Belanda, masa pendudukan Jepang dan masa Republik Indonesia.
Selain bupati Banjarnegara, Soemitro tidak sekedar menerima laporan yang disampaikan Wedana tapi ia juga turun ke desa-desa untuk mengetahui persoalan di berbagai bidang seperti keamanan, pertanian, peternakan, kehutanan, pengairan, keagamaan, pendidikan dll. Kabupaten Banjarnegara pada zaman colonial Belanda meliputi kurang lebih 250 desa terbagi menjadi 50 penatus.
Pada periode 1930-1936 dunia dilanda krisis ekonomi malaise, dimana uang sangat sedikit yang beredar, sebaliknya barang-barang kebutuhan manusia amat melimpah. Situasi ini meresahkan penduduk desa khususnya Distrik Wonodadi. Pada tahun 1933, Soemitro mengunjungi Distrik Wonodadi.
5. Wangsanegara versi Tedhakan Serat Soedjarah Joedanagaran
            Teks yang menerangkan bahwa naskah berasal dari juru kunci yang bernama Secadiwangsa yang menyatakan petilasan Beji Kuwarasan diciptakan oleh Kiai Geseng, sedangkan orang yang pertama membuka daerah itu Kiai Nayapatra. Kiai Nayapatra mempunyai anak perempuan yang dinikahi Kiai Badralana (anak Kiai Madusena, cucu Raden Ajeng Pambayun dari Mataram). Yang melahirkan dua anak, yaitu Kiai Kretasura dan Kiai Hartrasuta. Kiai Kertasura berputra Kiai Curiga. Kiai Curiga berputra dua anak yaitu Kiai Kretadipa dan Kiai Kretawangsa. Kretadipa mendapat pangkat ngabehi dengan nama Wangsanagara. Wangsanagara (Kretadipa) berputra Kiai Ngabehi WangsanagaraOmpong, Wangsanagara Ompong berputra Kiai Ngabehi Wangsanagara Kucir,dan Wangsanagara Kucir berputra Kiai Sutapatra atau Kiai Wangsanagara Sugih.
            Teks diatas menyebutkan empat anak ngabehi bergelar Wangsanagara. Silsilah Kolopaking menunjukan adanya lima orang. Satu orang tercecer adalah Wangsanagara IV. Wangsanagara Kucir adalah Wangsanagara III (kecil Bagus Kucir atau Sutapatra I), Wangsanagara IV bernama Bagus Suta atau Sutapatra II, sedangkan Wangsanagara V adalah Wangsanagara Sugih atau Sutapatra III.
F. Sejarah Trah Kartanegara (Karanganyar)
            Trah ini merupakan cabang dari trah Kolopaking, yaitu cabang keturunan Mas Tumenggung Kolopaking III yang kawin dengan putrid Raden Reksapraja II (Ngabehi Sruni Selang).
            KRA Kartanegara I mempunyai lima istri, yaitu (1) Mas Ajeng Karsih, (2) Mas Ajeng Kebaturan, (3) Raden Ayu Kartanegara (putri bupati Cilacap Raden Adipati Cakrawedana II), (4) Raden Nganten Mrtinah, (5) Raden Ayu Kertanagara (putri bupati Banjarnegara Raden Adipati Dipadiningrat). Kelima istri melahirkan Trah Kertanagaran.
            Mas Ajeng Karsih melahirkan dua anak perempuan, yakni (1) RA Wongsodirdjo (istri Raden Gondowidjojo, Kolektur Kutoarjo), (2) RA Tirtoatmodjo (istri Raden Tirtoatmodjo, Asisten Wedana Wawar, Karanganyar. RA Wongsodirdjo berputra (a) RA Senting Wirjodiprojo, (b) R. Salokan Atmodiredjo, (c) Rr. Soedjiah, (d) R. Mochamad Wongsodiprodjo, (e) R. Toerseno Wongsoatmodjo, (f) R. Soepangkat, (g) R. Majoor, dan (h) R. Madio sedangkan RA Tirtoatmodjo berputra (a) R. Ngt. Marsiah Poerwosiswojo, (b) R. Ngt. Waginah Atmodiredjo, (c) R. Ngt. Waginem Atmosoedirdjo, (d) R. Soekoer Hardjoatmodjo, (e) R. Ngt. Marjatin Martoprodjo, (f) R. Ngt. Martinah Pringgodiredjo, (g) R. Rachmat.
            Mas Ajeng Kebaturan melahirkan anak yang bernama RA Saparinah Gondowidjojo (istri Raden Gondowidjojo, Kolektor Kutoarjo). Selanjutnya ia mempunyai 10 anak, yakni (a) R. Potet Gondoprawiro, (b) R. Iskak Gondodirdjo, (c) R. Jakoep, (d) R. Joesoep, (e) R. Iljas, (f) R. Ramelan, (g) R. Soeparman Gondosoediro, (h) R. Ngt. Soedjirah Joedodirdjo, dan (i) Rr. Marsami.
            RA Kartanegara (putrid Kangjeng Raden Adipati Cakrawedana II, bupati Cilacap) mempunyai tujuh anak, yaitu (1) RA Marsidah Padmokoesoemo (istri pertama RM Padmokoesoemo, Wedana Kebumen), (2) RA Marsinah Wongsokoesoemo (istri RM Wongsokoesoemo, Wedana Kutoarjo), (3) RA Ketem Prawirengkoesoemo (istri RM Prawirengkoesoemo), (4) RA Moengsi Kartodiredjo (istri R. Kartodiredjo, Wedana Purworejo, Banyumas), (5) RT Soekadis Kartanegara (Bupati Karnganyar), (6) R. Soekarno (Wedana Comal), (7) RA Marsijah Mangkoesoebroto (istri RM. Mangkoesoebroto, Patih Banjarnegara) merupakan keturunan dari tujuh orang diatas. Pertama RA Marsidah Padmokoesoemo berputra (a) RM Soegoro Tjokrodihardjo, (b) RM Soetinah Nosingo, (c) RM. Soeprapto, (d) RM. Soetarno, (e) RM Soerowo Padmoadikoesoemo, (f) Dr. RM Achmad, (g) Dr. RM Goembreg, dan (h) RA Kalimah Soemarsono. Kedua, RA Marsinah Wongsokoesoemo berputra (a) RM Soegoro Tjokrodihardjo, (b) RM Soetinah Nosingo, (c) RA Soebinah Pringgosapoetro, (d) RA Soertinah Notoadiserojo, (e) RM Mochamad (RT Mertopoero), (f) RM Ibrahim, (g) RA Soetiah Samdani Padmokoesoemo, dan (h) RM Soebardjo. Ketiga RA Ketem Prawirengkoesoemo mempunyai anak yaitu, RM Sadjoeliman (yang beristrikan RA Tjipeng dan Rr. Soemiarsih Soemodilogo). Keempat, RA Moengsi Kartodiredjo berputra R. Imam Soepeno. Kelima, RT Soekadis Kartanegara beristrikan R. Ngt Sadikin dan seorang putrid Bupati Banyumas (1879-1913) Pangeran Aria Mertadiredja III yang berputra (a) R. Rachmat Soedibjo, (b) RA Marlinah Nitisoebroto, (c) R. Soedjono, (d) R. Soemarsono, (e) RA Marlinah Soeleman M, (f) Ir. R. Sarengat Kartanegara, (g) RT Sapanagat Kartanegara, (h) R. Sabengat Kartanegara, (i) Prof. Mr. R. Satochid Kartanegara, (j) R. Sajidiman Kartanegara (beristri RA Sajidin), dan (k) RA Martinah Notokoesoemo. Keenam, R. Soekarno (beristrikan putrid bupati Pemalang) dan berputra (a) R. Soekarman, (b) R.Soekarso, (c) R. Soekartono, dan (d) RA Soelasmi (Soetarmi) Moh. Soerodis. Ketujuh, RA Marjisah Mangkoesoebroto berputra delapan yakni (a) RM Soedarto Mangkoesoebroto, (b) RA Djaloe Soedarsono, (c) RA Koestiah Stamboel, (d) RM Samdiah Goembrek, (e) RM Soedarjono, (f) RA Soebaniah Soedana Gandsoebrata, (g) Dr. RM Abdoel Kadir, dan (h) RA Siti Fatimah Poesponegoro.
            R.Ngt Moertinah berputra RA Salamah Atmodikoesoemo mempunyai tujuh anak yaitu (a) RA Soeminah Tedjoaoemarto, (b) RM Soedjadi Atmodikoesoemo, (c) RM Soediono (istri Rr. Lily Siti Marliah), (d) RA Soewarti (istri M. Tilam Tjokromintardjo, (e) RA Soerati (R. Soelarko), (f) RA Soetini (suami Adi Soegio), (g) RM Soejadi Atmodikoesoemo.
            RA Kartanegara (putrid Bupati Banjarnegara, Raden Adipati Dipadiningrat) berputra lima, yaitu (1) RA Marsinah Padmokoesoemo (istri kedua RM Padmokoesoemo, Kolektur Karanganyar) yang melahirkan lima orang anak yakni, (a) RA Moersinah Soetjipto, (b) RM Soekamsi, (c) RM Soeparno, (d) RA Martijah Soemarto Pringgowidharso, (e) RA Soemijah Padmosoewarno. (2) RA Soemarwi (istri R. Soemardan, asisten Wedana Kebumen) Soemardan tidak memiliki putra, (3) RA Soetipah (wafat muda), (4) R. Soemardjo (wafat muda), (5) RTA Slamet Kartanegara (Bupati Tegal) berputra (a) R. Soemarjo Kartanegara, (b) R. Bambang Kartanegara, (c) R. Seno Kartanegara, (d) RA Djoharin Kartanegara, (e) RA Sri Redjeki Kartanegara, (f) RA Roestini Kartanegara, (g) RA Darmini Kartanegara, dan (h) RA Dinah Kartanegara. Dalam silsilah ini menunjukan keluarga Kartanegara hanya ada dua orang yang menjadi Bupati Karanganyar.
Kebudayaan Kebumen
a.      Kesenian Khas Kebumen
Di daerah Kedu telah dikenal dengan kesenian yang bernama Wayang urang yang memakai topeng yang dibungkus dengan bahan. Khas kesenian ini adalah para pemain mengambil topeng dalam keadaan terbungkus. Kesenian wayang urang mengambil cerita panji sebagai basisnya (Prijono 1982: 21) sehingga muncul pelawak Penthul dan Kacung.
Kesenian lain yang menonjol adalah tarian kuda kepang yang disebut jathilan. Pertunjukan jathilan mirip dengan kesenian ebeg di daerah Banyumas yang mengkombinasikan barongan dengan penari jaran kepang dan pelawak Penthul dan Kacung. Perbedaan antara satu dengan daerah lain adalah tidak adanya peran cepetan wadon atau dipakai tidaknya selompet. Disamping jathilan, di daerah Kedu dan Bagelan ditemukan kesenian taledhek yang disebut ronggeng. Oleh masyarakat setempat, penari gadis disebut lengger sedangkan penari dewasa disebut ronggeng.
Di daerah Bagelan dikenal dengan kesenian jemblung sering disebut menthiyet yang berarti bawaannya terlalu berat. Kesenian ini di Banyumas kadang dilengkapi dengan tumpeng sebagai gunungan dan makanan lain seperti rempeyek atau krupuk sebagai wayangnya. Nama wayang jemblung di daerah Banyumas disebut dhalang jemblung diambil dari nama Umarmadi yang dipanggil jemblung. Pertunjukan ini tidak menggunakan alat melainkan menggunakan suara mulut yang masih mengunyah makanan. Nuansa keislaman tidak hanya tampak pada kesenian wayang jemblung, tetapi terlihat pada pertunjukan perjanjen atau barzanji yang menceritakan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW naik ke surga.
Kesenian angguk merupakan kesenian yang bernafaskan islam. Nama angguk dipakai berdasarkan gerak para penari yang mengangguk-anggukan kepala atau lehernya. Penyebaranya meliputi Mataram, Bagelan, Kebumen dan sampai ke Banyumas. Kesenian Jamjeneng atau Janeng merupakan kesenian bernafaskan lagu islami yang diiringi alat music tradisional gamelan (siter, ketipung, dan kendang), kenthongan dan terbang. Pentas janeng dilakukan pada bulan Rabiul Awal pada acara peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW atau bulan-bulan yang sesuai dengan tanggapan orang yang mempunyai hajat. Teks Janeng pada intinya mengandung tiga bagian yaitu, (1) Gobyog berisi lagu pembuka yang menerangkan keberadaan janeng (asal-usul kesenian janeng) dan ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, (2) Kemengan adalah lagu yang mengandung kalimat tauhid, menyerukan keesaan Allah, maksiat, dan tobat yang dinyanyikan dengan cara kemeng (bertempo cepat dank eras), (3) gendungan berisi pesan nasihat kepada manusia sebagai hamba Allah untuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran islam sebagai lagu penutup atau lagu akhir (Pangestuti 2001).
b.      Makanan Khas Kebumen
1.      Makanan Yang Dikenal Masa Kini
Jenis makanan yang dikenal oleh masyarakat Kebumen adalah sate ambal, lanthing, karag, jipang kacang, dan emping mlinjo.
Sate Ambal sebenarnya sama dengan sate pada umumnya. Sate terbuat dari daging ayam dengan bumbu tempe. Pemasakanya melalui pembakaran pada tungku sehingga dagingnya bisa diatur matang atau setengah matang. Jadi sate adalah makanan yang berada diantara kutub, yaitu kutub alamiah (setengah matang) dan proses kebudayaan (matang).
Lanthing dan Karag adalah jenis makanan yang terbuat dari ketela pohon atau singkong. Proses pembuatan kedua jenis ini sangat dekat, maka jenis lain adalah gethuk. Gethuk tawar yang berwarna putih jika tidak habis dikonsumsi bisa dibuat Lanthing dengan cara membentuk lingkaran atau angka delapan setelah dibentuk memanjang. Makanan karag disebut gethuk tawar putih. Istimewanya getuk tawar putih ialah bisa dibuat makanan lain seperti  ciwel dengan diberi zat bewarna yang diambil dari pembakaran batang buah padi. Penyajiannya ditambah parutan kelapa dan garam ataugula pasir.
Jipang kacang dibuat dari bahan kacang tanah dan gula jawa. Makanan ini hampir mirip dengan angleng pada masyarakat Banyumas atau Kalua pada masyarakat sunda bedanya angling dan kalua dibuat bundar ukuran kecil seperti rempeyek kacang, sedangkan Jipang Kacang dicetak dengan bentuk tertentu. Kalau angling dan kalua digoreng sedangkan Jipang Kacang tidak.
Emping Mlinjo merupakan makanan khas masa kini walaupun makanan ini bisa dikatakan khas Kebumen apabila ada kekhusuan dalam memroses atau menciptakan cita rasa yang beda dengan daerah emping yang dihasilkan di daerah lain.
2.      Sasaji Bagi Kiai Bandayuda
Kiai Bandayuda menurut legenda selalu diberi sasaji pada Malam Jumat Kliwon dalam bentuk (1)Bunga rampai, (2) wedang jembawuk (kopi dicampur air santan dan gula merah), (3) arang-arang kambang (air panas dicampur jipang), (4) gecak bang (daging ayam mentah dicampur air santan), (5) dua pisang ambon dibakar, (6) sirih dan pinang, (7) dupa yang dibakar (Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo 1969: 93).